Detail Interest Area

MENCERMATI KEBIJAKAN PENYUSUNAN APBDESA: BELAJAR DARI KASUS PENYUSUNAN APBDESA DI PROVINSI JAWA TIMUR

Sumber : Banu Witono


MENCERMATI KEBIJAKAN PENYUSUNAN APBDESA: 

BELAJAR DARI KASUS PENYUSUNAN APBDESA DI PROVINSI JAWA TIMUR

Banu Witono

 

Abstraksi

Kebijakan penyusunan APBDesa menjadi salah satu bagian yang sangat penting dalam pengelolaan keuangan Desa. Berbagai permasalahan akan muncul, ketika Pemerintah Desa kurang memahami dan menaati kebijakan penyusunan APBDesa. Banyak kasus mengemuka pada Pemerintah Desa di Provinsi Jawa Timur terkait dengan kebijakan penyusunan APBDesa, yaitu: tidak ada sinkronisasi antara RPJMDesa, RKPDesa dan APBDesa; ketidaktepatan waktu pengesahan APBDesa; Pemerintah Desa melakukan perubahan APBDesa lebih dari satu kali dalam satu tahun anggaran. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa problematika tersebut terjadi karena disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: faktor lingkup pengelolaan keuangan pemerintah; faktor siklus perencanaan dan penganggaran pemerintah; serta faktor sumber daya manusia. Upaya yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas pengelolaan keuangan desa, khususnya mengenai kebijakan penyusunan APBDesa, antara lain: peningkatan kapasitas perangkat desa dalam pengelolaan keuangan desa; penempatan pendamping desa yang kompeten dan kredibel dalam pengelolaan keuangan desa; adanya langkah antisipatif dari pemerintah daerah dengan mengeluarkan kebijakan guna menghindari keterlambatan penyusunan APBDesa.

Kata Kunci: Pengelolaan Keuangan Desa, Kebijakan Penyusunan APBDesa

PENDAHULUAN

           Upaya pemerintah untuk memperluas dan memperkuat ruang otonomi daerah pada unit pemerintahan yang terkecil yaitu desa mulai menemukan momentumnya. Perlahan tapi pasti, roda pembangunan di desa mulai menggeliat seiring dengan diterbitkannya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.  Setelah sebelumnya pemerintahan di era reformasi ini telah mencanangkan pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah sejak diterbitkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.  

       Kajian mengenai desentralisasi sudah banyak dilakukan, ada banyak definisi tentang desentralisasi ini dalam berbagai perspektifnya karena tidak ada definisi tunggal dan bersifat universal. Faguet (2004) mengartikan desentralisasi sebagai penyerahan fungsi-fungsi khusus berupa kedudukan administratif, politik dan ekonomi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang independen atas pusat di dalam domain geografis dan fungsional yang dibatasi secara legal. Cheema dan Rondenell yang dikutip oleh Surbakti (2013:8) membagi desentraliasi dalam beberapa bentuk, yaitu desentralisasi administratif, politik, fiskal dan pasar.  Sedangkan Muttalib dan Khan (2013) memandang desentralisasi dalam dimensi, yaitu dimensi sosial, ekonomi, geografis, hukum, politik dan administrasi.

         Desentralisasi memberikan peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan yang terkait dengan masalah, politik, sosial, ekonomi dan administratif di daerah. Blair (2000) meyakini bahwa secara politik, desentralisasi merupakan langkah menuju demokratisasi dengan cara membangun partisipasi umum dan akuntabilitas pada pemerintah daerah karena pada tingkatan daerah akan menjadi lebih resposif atas kebutuhan masyarakat dan lebih efektif dalam pemberian fasilitas pelayanan (Blair menyebutnya Democratic Decentralization atau Democratic Local Governance). Dalam perspektif sosial, desentralisasi akan mendorong kemandirian masyarakat dengan memfungsikan pranata sosial dalam pengambilan keputusan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi secara lebih efektif, efisien dan adil.  Desentralisasi dalam kaca mata ekonomi diyakini dapat mencegah eksploitasi pusat terhadap daerah, menumbuhkan inovasi masyarakat dan mendorong motivasi masyarakat untuk lebih produktif. Sedangkan secara administratif, desentralisasi diharapkan akan mampu meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dan sekaligus meningkatkan daya guna, transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah (Blair, 2000; Devas dan Grand, 2003; Chalid, 2005; Eckardt, 2008; Widjaja, 2009)

          Jika merujuk pengertian dalam  UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah mengenai desentralisasi, otonomi daerah dan daerah otonom akan sangat jelas batasan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah.

         Arah kebijakan penyerahan  otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah adalah guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Dalam lingkungan strategis globalisasi, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

         Desa merupakan bagian dari ketatanegaraan Republik Indonesia yang perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri dan demokratis. Dengan demikian desa diharapkan turut mengambil peran dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan guna menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Memang sudah sepantasnya jika desa menjadi sasaran strategis dan fokus utama pembangunan bangsa dikarenakan sebagian besar wilayah Indonesia ada di pedesaan.  Desa merupakan elemen organisasi pemerintahan utama yang langsung berhadapan dengan masyarakat dan paling mengetahui tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Untuk itu perlu kiranya pemerintahan desa diberikan kewenangan yang memadai untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri menuju terwujudnya desa yang mandiri dan sejahtera.

     Dengan diterbitkannya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, menunjukkan itikad baik pemerintah untuk memperluas rentang desentralisasi sampai tingkat desa (otonomi desa). Dasar pertimbangannya adalah bahwa desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita

        kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Asas yang melandasi pengaturan desa adalah rekognisi, subsidiaritas, keberagaman, kebersamaan, kegotongroyongan, kekeluargaan, musyawarah, demokrasi, kemandirian, partisipasi, kesetaraan, pemberdayaan dan keberlanjutan. Selain itu, bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.

        Sebagaimana otonomi daerah, kewenangan penataan otonomi desa pun terletak ditangan pemerintah yang tertuang dalam UU Desa tersebut. Baik pemerintah, pemerintah provinsi maupun pemerintah daerah dapat melakukan penataan (pembentukan, penghapusan, penggabungan, perubahan status dan penetapan desa) berdasarkan hasil evaluasi tingkat perkembangan Pemerintahan Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tujuan dari penataan itu sendiri adalah dalam rangka: 

  1. mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
  2. mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa;
  3. mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik;
  4. meningkatkan kualitas tata kelola Pemerintahan Desa; dan
  5. meningkatkan daya saing Desa.

         Dalam kerangka mewujudkan tujuan penataan tersebut dibentuk pemerintahan desa yang diselenggarakan oleh pemerintah desa dengan berlandaskan pada asas: kepastian hukum, tertib penyelenggaraan pemerintahan, tertib kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas,  profesionalitas, akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi, kearifan lokal,  keberagaman dan partisipatif Untuk mewujudkan tujuan penataan desa tersebut, pasal 18 UU No. 6 Tahun 2014 dinyatakan bahwa kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa. Namun demikian, hak atas diberikannya kewenangan tidak serta merta terbebas dari kewajiban dan tanggung jawab yang melekat di dalamnya. Pelaksanaan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi desa tetap harus menjunjung tinggi nilai-nilai tanggung jawab dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam bingkai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

        UU Desa telah memberikan jaminan pendanaan guna melaksanakan kewenangannya melalui anggaran pemerintah dan pemerintah daerah, selain dari anggaran desa itu sendiri yang terwujud dalam struktur keuangan desa. Pendanaan ini bukanlah hibah tapi sebagai suatu bentuk kewajiban pemerintah desa dalam pelaksanaan program berbasis desa secara merata dan berkeadilan (PP No. 60 Tahun 2014).  Pengertian keuangan desa menurut Permendagri No. 113 Tahun 2014 adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa. Keuangan desa harus dikelola berdasarkan asas-asas transparan, akuntabel, partisipatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran.

         Oleh karena itu, sudah sepantasnya bagi pemerintah desa untuk melaksanakan pengelolaan keuangan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan desa secara profesional, efektif, efisien dan akuntabel sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meskipun harus disadari bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di desa masih menghadapi kenyataan akan keterbatasan sumber daya, termasuk sumber daya manusia untuk dapat tumbuh dan berkembang dalam kapasitas kemampuannya sendiri.  

            Dua tahun perjalanan implementasi UU desa, telah diwarnai dengan berbagai problematika. Namun demikian, tidaklah adil jika kita langsung memvonis sebagai suatu bentuk kegagalan atas banyaknya permasalahan yang terjadi. Justru hal tersebut merupakan tantangan ke depan bagaimana pengelolaan keuangan desa serta pemanfaatannya dapat semakin baik dan dapat dirasakan oleh masyarakat luas baik dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat dan pembinaan kemasyarakatan.

Kajian yang dilakukan oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK atas Sistem Pengelolaan Keuangan Desa: Alokasi Dana Desa dan Dana Desa, menemukan sebanyak 14 potensi permasalahan dalam empat aspek, yang terangkum dalam tabel di bawah ini:

Tabel 1. Hasil Kajian Potensi Permasalahan Pada Sistem Keuangan Desa

N0

Aspek

Potensi Permasalahan

1

Regulasi dan Kelembagaan
Belum lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan yang diperlukan dalam pengelolaan keuangan desa
Potensi tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Desa dan Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri
Formula pembagian dana desa dalam PP No. 22 tahun 2015 tidak cukup transparan dan hanya didasarkan atas dasar pemerataan
Pengaturan pembagian penghasilan tetap bagi perangkat desa dari ADD yang diatur dalam PP No. 43 tahun 2014 kurang berkeadilan
Kewajiban penyusunan laporan pertanggungjawaban oleh desa tidak efisien akibat ketentuan regulasi yang tumpang tindih

2

Tata laksana
Kerangka waktu siklus pengelolaan anggaran desa sulit dipatuhi oleh desa
Satuan harga baku barang/jasa yang dijadikan acuan bagi desa dalam menyusun APBDesa belum tersedia
APBDesa yang disusun tidak sepenuhnya menggambarkan kebutuhan yang diperlukan desa
Transparansi rencana penggunaan dan pertanggungjawaban APBDesa masih rendah
Laporan pertanggungjawaban yang dibuat desa belum mengikuti standar dan rawan manipulasi

3

Pengawasan
Efektivitas Inspektorat Daerah dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan di desa masih rendah
Saluran pengaduan masyarakat tidak dikelola dengan baik oleh semua daerah
Ruang lingkup evaluasi dan pengawasan yang dilakukan oleh camat belum jelas

4

Sumber Daya Manusia
Tenaga pendamping berpotensi melakukan korupsi / fraud memanfaatkan lemahnya aparat desa

Sumber: KPK (2015), acch.kpk.go.id/documents/…Desa.pdf/…

          Permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan keuangan desa sebagaimana hasil kajian dan temuan KPK juga terkuak saat penulis melaksanakan bimbingan teknis (bimtek) manajemen keuangan desa yang diselenggarakan atas kerjasama IAI wilayah Jawa Timur dan Pemprov Jawa Timur, khususnya yang  terkait dengan penyusunan APBDesa adalah:

  1. Ada desa yang tidak mendapatkan sosialisasi terkait dengan RPJMD dan RKPD Kabupaten sehingga kesulitan untuk melakukan sinkronisasi dalam penyusunan RPJMDesa, RPKDesa maupun APBDesa.
  2. Sebagian besar (jika tidak dapat dikatakan hampir semua desa) belum menyusun APBDesa sesuai dengan jadwal waktu siklus anggaran yang telah ditentukan sebagaimana dalam PP No. 43 Tahun 2014 dan Permendagri No. 113 Tahun 2014. Hal ini lebih disebabkan karena informasi dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang terlambat diperoleh oleh desa atau keputusannya berubah‐ubah. Berbagai informasi yang dibutuhkan desa untuk memulai proses perencanaan baru diperoleh pada bulan Januari s.d. April tahun berikutnya. Akibatnya, pelaksanaan siklus anggaran di desa jauh melenceng dari waktu yang ditetapkan dalam regulasi.
  3. Jikapun penyusunannya APBDesa dilakukan tepat waktu, namun beberapa desa melakukan perubahan atas APBDesa (bahkan RKPDesa) lebih dari satu kali tanpa melakukan perubahan atas peraturan desa karena berusaha menyesuaikan dengan informasi mengenai pagu anggaran yang sering kali berubah-ubah dari pemerintah daerah. 

          Dalam hal ini, penulis hanya membatasi diri dan memfokuskan pada permasalahan yang terkait kebijakan penyusunan APBDesa dengan beberapa pertimbangan, antara lain:

  1. merupakan problematika yang dialami oleh banyak desa,
  2. kejadian yang sering kali terulang dari tahun ketahun
  3. keterlambatan penetapan APBDesa tidak semata karena ketidakmampuan pemerintah desa, namun karena adanya keterkaitan dan keterikatan dengan proses pengelolaan keuangan pada level pemerintahan di atasnya.
  4. yang paling penting adalah bahwa keterlambatan penetapan APBDesa akan berdampak pada tahapan proses pengelolaan keuangan selanjutnya.

      Tulisan ini bermaksud mencermati implementasi pengelolaan keuangan desa, khususnya dalam aspek kebijakan penyusunan APBDesa. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih konkrit mengenai kebijakan-kebijakan seputar penyusunan APBDesa, sehingga dapat dijadikan pedoman bagi pemerintah desa dalam menyusun APBDesa.   Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk memberikan gambaran mengenai kebijakan penyusunan APBDesa yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan mengusulkan alternatif solusi atas permasalahan yang terjadi dalam bentuk saran.

PEMBAHASAN

         UU Nomor 6 Tahun 2014 beserta peraturan pelaksanaanya telah mengamanatkan terwujudnya  pemerintah  desa yang  lebih mandiri dalam mengelola pemerintahan dan berbagai sumber daya alam yang dimiliki.  Pengelolaan pemerintahan desa akan berhasil guna dan berdaya guna apabila pemerintah desa mampu melakukan pengelolaan keuangan dan kekayaan milik desa guna melaksanakan empat bidang yang telah ditetapkan, yaitu  penyelenggaran pemerintahan desa, pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan  desa dan pemberdayaan masyarakat desa.  

        Pengertian pengelolaan keuangan desa menurut Permendagri No. 113 Tahun 2014 adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan (termasuk penganggaran), pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan desa. Keseluruhan kegiatan tersebut merupakan satu kesatuan proses tahapan yang membentuk suatu siklus yang saling berkelindan.  Masing-masing tahapan memiliki aturan-aturan yang harus dilaksanakan sesuai dengan batasan waktu yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Siklus pengelolaan keuangan desa dapat digambarkan  sebagai berikut:


Gambar 1. Siklus Pengelolaan Keuangan Desa

Sumber: Disarikan dari Permendagri No. 113 Tahun 2014

        Potret pengelolaan keuangan desa tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) yang merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan desa.  APBDesa menjadi instrumen penting yang sangat menentukan dalam rangka perwujudan tata pemerintahan yang baik (good governance) di tingkat desa. Proses pengelolaan keuangan desa (APBDesa) bila dilaksanakan sesuai dengan asas-asas transparan, akuntabel, partisipatif serta tertib dan disiplin anggaran (Pasal 2 Permendagri No. 113 Tahun 2014) akan memberikan arti dan nilai bahwa pemerintahan desa telah dijalankan dengan baik.  Perencanaan dan penganggaran keuangan desa merupakan tindak lanjut dari proses perencanaan pembangunan desa, yaitu RPJMDesa dan RKPDesa. Setelah RPKDesa selesai ditetapkan, maka proses selanjutnya adalah penyusunan APBDesa.

       APBDesa adalah dokumen formal hasil kesepakatan antara kepala desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) tentang belanja yang ditetapkan untuk melaksanakan kegiatan pemerintah desa dan pendapatan diharapkan untuk menutupi keperluan belanja tersebut atau pembiayaan yang diperlukan bila diperkirakan akan terjadi defisit atau surplus. APBDesa mengkoordinasikan aktivitas belanja pemerintah desa dan memberikan landasan bagi upaya perolehan pendapatan dan pembiayaan oleh pemerintah desa untuk suatu periode satu tahun yang dituangkan dalam bentuk peraturan desa (perdes). Oleh karena itu, maka dapat dikatakan bahwa penyusunan APBDesa merupakan suatu bentuk perencanaan dan penganggaran keuangan desa berupa instrumen kebijakan publik sebagai upaya pemerintah desa dalam menyelenggarakan pemerintahan dan melaksanakan pelayanan kepada masyarakat.

1. Kebijakan Penyusunan APBDesa Dalam Proses Perencanaan dan Pengangggaran Keuangan Desa

Beberapa kebijakan penyusunan APBDesa yang harus dipatuhi oleh pemerintah desa dalam proses perencanaan dan penganggaran keuangan desa dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. APBDesa merupakan hasil dari sinergi antara perencanaan pembangunan desa dengan perencanaan pembangunaan kabupaten/kota dan perencaan pembangunan nasional yang dibangun atas dasar proses top-down (Lihat pasal 79 UU 6/2014, pasal 116 ayat 5 dan pasal 117 ayat 1 PP 43/2014, dan pasal 10 Permendagri 114/2014), sebagaimana gambar berikut:

Gambar 2. Sinergi Perencanaan Pembangunan Desa

Sumber: Bappeda Kab. Cirebon 2014 pada Laporan Hasil Kajian  Pengelolaan Keuangan Desa, KPK 2015

2. APBDesa yang disusun merupakan hasil dari pelibatan dan keikutsertaan  masyarakat desa pada saat merumuskan perencanaan pembangunan desa. Hal ini merupakan bentuk pendekatan bottom up sebagai bagian dari pelaksanaan atas asas demokrasi, kemandirian, partisipasi, kesetaraan dan pemberdayaan, yaitu melaksanakan musyawarah desa dan musyawarah perencanaan pembangunan desa (Lihat pasal 80 UU 6/2014, pasal 114 ayat 1 PP 43/2014 dan pasal 7 ayat 1 Permendagri 114/2014) sebagai mana gambar berikut:

Gambar 3. Pelibatan Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan Desa

Sumber: Diolah dari PP No. 43 Tahun 2014

3. APBDesa disusun dan ditetapkan berdasarkan pada RKPDesa. RKPDesa merupakan penjabaran RPJMDesa untuk jangka waktu 1 tahun yang disusun pemerintah desa sesuai dengan informasi dari pemerintah daerah kabupaten/kota berkaitan dengan pagu indikatif desa dan rencana kegiatan pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota. (Pasal 118 PP 43/2014 dan pasal 29 Permendagri 114/2014)

4. APBDesa disusun berdasarkan mekanisme yang berjalan secara simultan dengan penyusunan RKPDesa (Pasal 118 ayat 7 PP 43/2014 dan pasal 29 ayat 5 Permendagri 114/2014), sebagaimana gambar berikut:

Gambar 4. Siklus Perencanaan RKPDesa dan APBDesa

Sumber: Diolah dari PP No. 43 Tahun 2014 (KPK, 2015)

5. APBDesa disusun berdasarkan pendanaan yang bersumber dari pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota dan pemerintah desa guna melaksanakan kewenangan desa (Pasal 90 PP 43/2014) sebagai berikut:

  1. Penyelenggaraan kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa didanai oleh APB Desa (Pendapatan Asli Desa/PADesa)
  2. Penyelenggaraan kewenangan lokal berskala Desa selain didanai oleh APB Desa, juga dapat didanai oleh anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (Alokasi Dana Desa/ADD dan Bagi Hasil Pajak/Retribusi Daerah)
  3. Penyelenggaraan kewenangan Desa yang ditugaskan oleh Pemerintah didanai oleh anggaran pendapatan dan belanja Negara (Dana Desa/DD). Dana tersebut dialokasikan pada bagian anggaran kementerian/lembaga dan disalurkan melalui pemerintah daerah kabupaten/kota.
  4. Penyelenggaraan kewenangan Desa yang ditugaskan oleh pemerintah daerah didanai oleh anggaran pendapatan dan belanja daerah (Bantuan Keuangan)

6. APBDesa disusun harus berasaskan pada asas pengelolaan keuangan desa yaitu: asas transparan, akuntabel, partisipatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran (Pasal 2 ayat 1 Permendagri 113/2014)

7. APBDesa adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan desa yang dibahas dan disetujui bersama oleh Kepala Desa dan BPD, dan ditetapkan dengan Peraturan Desa (Pasal 101 ayat 1 dan 4 PP 43/2014, pasal 20 Permendagri 113/2014).

8. APBDesa dikelola dalam masa 1 (satu) tahun anggaran yakni mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember (Pasal 94 PP 43/2014 dan pasal 2 ayat 2 Permendagri 113/2014)

9. Struktur APBDesa terdiri atas pendapatan, belanja dan pembiayaan desa (Bab IV Permendagri 113/2014).

      Pendapatan desa adalah semua penerimaan uang melalui rekening desa yang merupakan hak desa dalam 1 (satu) tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh desa. Pendapatan desa dibagi menjadi kelompok, jenis dan sub jenis, yaitu:

Gambar 5. Struktur Pendapatan

     Dana desa bersumber dari alokasi pemerintah dari APBN setiap tahun anggaran yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui APBD kabupaten/kota untuk selanjutnya ditransfer ke APBDesa. (Pasal 5 dan 6 PP 60/2014).

     Bagi hasil pajak dan retribusi daerah Kabupaten/Kota bersumber dari APBD yang dialokasikan paling sedikit 10% dari realisasi penerimaan hasil pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota yang diperuntukkan untuk desa.

       Alokasi Dana Desa (ADD) bersumber dari APBDesa Kabupaten/Kota yang dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah setelah dikurangi dana alokasi khusus.

      Bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota bersumber dari APBD yang dialokasikan untuk desa dapat bersifat umum dan khusus. Bantuan keuangan bersifat khusus dikelola dalam APBDesa tetapi tidak diterapkan dalam ketentuan penggunaan paling sedikit 70% (tujuh puluh perseratus) dan paling banyak 30% (tiga puluh perseratus).

       Belanja desa meliputi semua pengeluaran dari rekening desa yang merupakan kewajiban desa dalam 1 (satu) tahun anngaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh desa. Belanja desa dipergunakan dalam rangka mendanai penyelenggaraan kewenangan desa. Belanja desa diklasifikasikan ke dalam kelompok, kegiatan dan jenis sebagai berikut: