(Singapura, 25 April 2024) – Indonesia telah mengadopsi kerangka kerja yang kokoh untuk pelaporan keuangan, mencakup implementasi Standar Akuntansi Keuangan (SAK) Internasional yang sejalan dengan International Financial Reporting Standards (IFRS) Accounting Standards, dan SAK Indonesia yang disesuaikan untuk mengakomodir nuansa domestik. Sikap proaktif dalam membentuk masa depan pelaporan berkelanjutan, menegaskan komitmen Indonesia terhadap transparansi, akuntabilitas, dan praktik korporat yang bertanggung jawab.
Hal itu disampaikan Anggota Dewan Pengurus Nasional Ikatan Akuntan Indonesia (DPN IAI), Rosita Uli Sinaga dalam The IFAC Asia Pacific Sustainability Exchange yang digelar di Singapura, 25 April 2024. Acara ini ditujukan untuk memberdayakan perubahan dalam profesi akuntan global dan dunia, menyatukan suara pemangku kepentingan terkemuka dalam aspek keberlanjutan dan akuntansi, membina kolaborasi di antara para profesional dan pemangku kepentingan dari berbagai sektor, termasuk organisasi akuntansi profesional, perwakilan forum perusahaan, regulator, pembuat kebijakan, akademisi, investor, dan kontributor penting lainnya terhadap keberlanjutan.
Hadir menyampaikan remarks dalam acara itu adalah CEO International Federation of Accountants (IFAC), Lee White dan Vice President Institute of Singapore Chartered Accountants (ISCA), Shariq Barmaky. Selain Rosita, pembicara yang turut mengisi event penting itu antara lain Prof. Lindawati Gani (IAI), David Madon (IFAC), Bruce Vivian (IFAC), Jingdong Hua (International Sustainability Standards Board/ISSB), Yap Kim Bong (Accounting and Corporate Regulatory Authority/ACRA Singapura), David Warren (International Public Sector Accounting Standard Board/IPSASB) dan lainnya.
Rosita mengatakan, komitmen Indonesia terhadap pelaporan korporat yang komprehensif dan inisiatif berkelanjutan, merupakan bentuk tanggapan terhadap panggilan global untuk meningkatkan pelaporan korporat. Dalam kapasitas itu, IAI telah mendirikan Task Force Comprehensive Corporate Reporting (TF CCR) sesuai dengan proposal IFAC. Inisiatif ini bertujuan untuk melampaui pemisahan tradisional antara pelaporan keuangan dan non-keuangan serta menyederhanakan kerangka kerja pelaporan.
Menurutnya, Indonesia telah aktif terlibat dalam inisiatif berkelanjutan di berbagai front, berkolaborasi dengan regulator dan lembaga internasional seperti IFAC dan IFRS Foundation. Ini termasuk kontribusi terhadap rekomendasi kebijakan di forum global dan representasi dalam konsultasi tentang standar pelaporan berkelanjutan.
Di sisi lain, lanskap regulasi Indonesia untuk pelaporan berkelanjutan telah berkembang dengan terbitnya Regulasi OJK POJK 51/2017 yang mewajibkan pelaporan untuk perusahaan jasa keuangan dan entitas publik. Perkembangan legislasi terkini, seperti Undang-Undang No. 4/2023, menandakan ekspansi persyaratan pelaporan di sektor keuangan.
Peran Penting DPSK dan DSK IAI
Pembentukan Dewan Pemantau Standar Keberlanjutan (DPSK) dan Dewan Standar Keberlanjutan (DSK) di bawah naungan IAI menunjukkan komitmen Indonesia terhadap tata kelola yang kuat dalam pelaporan keberlanjutan. Dewan-dewan ini, yang terdiri dari beragam pemangku kepentingan, bertujuan untuk mengembangkan standar pengungkapan yang sejalan dengan praktik terbaik global. Menurut Rosita, DSK IAI aktif bekerja untuk mengembangkan standar pengungkapan keberlanjutan sesuai dengan Standar ISSB dan memfasilitasi kerjasama dengan Komite Keuangan Berkelanjutan yang baru diamanatkan di dalam regulasi. Sinkronisasi ini penting untuk memastikan koherensi dan efektivitas dalam praktik pelaporan.
Sementara entitas di Indonesia pada umumnya telah menggunakan standar GRI untuk pelaporan berkelanjutan, upaya sedang dilakukan untuk menyesuaikan dengan Standar ISSB. Menurut Rosita, niat OJK untuk merevisi POJK 51/2017 mencerminkan komitmen untuk memadukan praktik pelaporan dengan standar internasional.
“Saya sepenuhnya memahami bahwa persyaratan pelaporan yang ditetapkan oleh ISSB akan menjadi inisiatif yang berhasil jika banyak yurisdiksi menggunakan pendekatan yang sama. Semakin banyak variasi yang ada di setiap yurisdiksi, semakin besar potensi keterlambatan harmonisasi. Oleh karena itu, kami menghimbau semua pihak yang terlibat, termasuk ISSB dan IFAC, untuk mengintensifkan upaya dalam proses harmonisasi ini,” himbau Rosita, yang sudah memiliki pengalaman puluhan tahun sebagai akuntan profesional.
Rosita menambahkan, upaya signifikan dalam peningkatan kapasitas menjadi sangat penting bagi negara-negara dengan kesenjangan yang signifikan, seperti Indonesia, untuk membantu mengejar ketinggalan dan bergerak menuju adopsi IFRS S1 dan S2 dengan lebih cepat.
Rosita secara pribadi menyarankan, lebih baik fokus pada satu aspek, seperti perubahan iklim, dan memastikan pelaporan iklim berkualitas tinggi diterapkan secara konsisten di mana pun, ketimbang menerapkan berbagai langkah keberlanjutan secara prematur dengan banyak penyesuaian lokal yang mungkin mengurangi kualitas laporan secara keseluruhan di masa depan. Pada akhirnya, hal ini justru berpotensi akan mengurangi komparabilitas laporan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi tantangan besar tersebut adalah melalui kolaborasi multi pihak, yang melibatkan sejumlah pemangku kepentingan (stakeholders), sehingga dimungkinkan pula adanya upaya percepatan capacity building bagi penyusun (preparer) ataupun pelaku jasa asurans (assurance provider) atas laporan keberlanjutan.
Informasi terkait Ikatan Akuntan Indonesia Wilayah Jawa Timur dapat diakses melalui iaijawatimur.or.id