Kupas Tuntas Ketentuan Penilaian untuk Tujuan Perpajakan (PMK 79 Tahun 2023)
Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79 tahun 2023 (PMK 79 Tahun 2023) tentang Tata Cara Penilaian untuk Keperluan Perpajakan. Berdasarkan peraturan ini, DJP memiliki kewenangan untuk melakukan penilaian nilai objek Pajak Bumi dan Bangunan (dalam rangka penetapan Nilai Jual Objek Pajak) serta penilaian atas harta berwujud, harta tidak berwujud, dan bisnis. Penilaian untuk tujuan perpajakan yang dilakukan oleh DJP ini dilakukan berdasarkan standar penilaian dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan.
Penilaian untuk tujuan perpajakan yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak ini harus dilakukan berdasarkan suatu standar penilaian. PMK 79 Tahun 2023 ini juga telah menetapkan suatu standar penilaian untuk tujuan perpajakan ini. PMK 79 Tahun 2023 ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan (yaitu tanggal 24 Agustus 2023) dan secara garis besar mengatur mengenai:
- Lingkup penilaian untuk tujuan perpajakan.
- Tim Penilai dan Surat Perintah Penilaian
- Tata Cara Penilaian.
Tema penting di atas menjadi diskusi menarik dalam Reguler Tax Discussion (RTD) “Kupas Tuntas Ketentuan Penilaian untuk Tujuan Perpajakan (PMK 79 Tahun 2023) ” melalui online via Zoom, Rabu, 22 November 2023 mulai dari jam 9.30 sampai dengan 12.00 WIB. Acara RTD PMK 79 ini merupakan rangkaian HUT ke-66 IAI, dengan menghadirkan narasumber dari masing masing kompartemen IAI dalam format webinar. RTD PMK 79 dibuka oleh Ketua IAI Kompartemen Akuntan Perpajakan (KAPj), Prof. Dr. John L. Hutagaol, M. Acc,. M.Ec (Hons.), S.E. Ak, C.A yang juga menjabat sebagai Tenaga Pengkaji Pembinaan dan Penertiban Sumber Daya Manusia, Direktorat Jenderal Pajak. RTD PMK 79 dihadiri oleh pemangku kepentingan perpajakan dengan kehadiran 242 peserta dengan berbagai latar belakang.
Dalam sambutan pembukanya, Prof John L. Hutagaol menyoroti peraturan ini sebagai respon dinamika globalisas, kemajuan teknologi yang berkaitan dengan trend bisnis. Maksud dan tujuan dari PMK ini adalah sebagai kerangka kerja, keadilan, keefektifan serta kepastian hukum dalam konteks PPh, PPN, PBB dan untuk kepentingan penagihan surat paksa (PPSP). Ruang lingkup penilaian terdiri NJOP utk sektor perkebunan, kehutanan dan pertambangan, harta berwujud seperti mesin, kendaraan, harta tidak berwujud seperti royalti serta penilaian bisnis. Wajib Pajak harus memenuhi standar baru serta informasi yang akurat untuk penilaian pajak. Kepatuhan ini penting untuk menjaga integritas dan sistem perpajakan secara keseluruhan. Implementasi ini melibatkan pemerintah dan lembaga terkait. Prof John L. Hutagaol menyoroti agar kerjasama ini efektif dan efisien maka DJP perlu mengawasi pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Konsultan pajak dan akuntan publik harus mengetahui peraturan ini dalam rangka membantu perusahaan. KJPP harus menyesuaikan dengan standar yang diterapkan. Ada tantangan dalam implementasi dan penyesuaian sistem. Untuk itu, KAPj berkomitmen untuk memberikan pelatihan agar proses implementasi berjalan lancar.
“Transparansi, keadilan dan kepastian hukum membuat regulasi ini memberikan dampak yang jelas. Peraturan PMK ini memberikan nilai yang adil dan aktual, serta meningkatkan kepercayaan publik dalam administrasi pajak,” pungkas Prof John L. Hutagaol.
Pemaparan Materi I, Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian, Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, Aim Nursalim Saleh, yang diwakili Majdi Ali selaku Penilai Pajak Ahli Madya Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian menyatakan bahwa saat ini apa yang diatur dalam PMK ini sudah diatur dalam UU PBB, PPh, PPN dan PPSP. Khusus UU PPh diatur dalam Ps. 4(1) huruf a, Pasal 4(2) huruf d serta pasal-pasal lainnya mensyaratkan penilaian. Konsep nilai pasar dalam UU PPh definisi nya mengarahkan kepada nilai yang seharusnya. Artinya memperhatikan kondisi yang optimal berapa harganya yang seharusnya terjadi terlepas adanya hubungan istimewa. Ketentuan ini termasuk dalam Pasal 16D mengenai pengalihan aktiva yang harus memperhatikan nilai pengalihan. Kegiatan administrasi perpajakan mulai dari pengawasan, pemeriksaan sampai penagihan membutuhkan penilaian. Istilah PMK masih mengacu kepada UU bukan SAK dengan definisi secara umum. Selanjutnya Majdi Ali menyatakan penilaian dapat dilakukan secara kantor dan lapangan. Keperluan penilaian dalam UU Perpajakan memperhatikan pendekatan biaya, harga dan nilai. Pendekatan biaya dalam Pasal 11 dan Pasal 11A UU PPh serta Pasal 16C UU PPN. Pendekatan harga juga dalam Pasal 4(2), Pasal 10 (1), Pasal 10 (3), Pasal 18 (3a) UU PPh serta Pasal 1A(1), Pasal 2(1) dan 16D UU PPN serta UU PPSP Pasal 2(3). Pendekatan nilai dalam Pasal 6(2) UU PBB, Pasal 4(1), Pasal 10(2), Pasal 10(4), Pasal 10(5), Pasal 18(3), Pasal 19 UU PPh. Pasal 14 (2) UU PPSP juga memperhatikan pendekatan pasar. Konstruksi PMK secara umum terdiri dari 6 Bab dan 34 Pasal. Penilaian untuk ruang lingkup PBB dan di luar PBB. Khusus untuk Transfer Pricing (TP) metode penilaian masih memperhatikan PMK 22 dan PP 55 yang mengakui metode lain dalam penilaian. Penilaian harus melihat sisi objek dan ketersediaan data untuk meminimalkan dispute dari sudut pandang yang sama. Jika tersedia data maka baru bisa dilakukan pendekatan tertentu dan metode tertentu. Penghentian penilaian seperti laporan sumir dalam pemeriksaan.
Pada kesempatan yang sama, Pemaparan II dari Ketua Umum DPN Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI), Muhammad Adil Muttaqin yang diwakili oleh Willy D. Kusnanto sebagai Partner KJPP Kusnanto and Partners. Willy menggambarkan bidang jasa penilaian dibagi menjadi 4 lisensi terdiri dari penilai properti, penilai bisnis, penilai properti sederhana, penilai personal properti. Menurutnya, penilaian properti sederhana untuk perbankan menempati proporsi terbesar sampai dengan 80%. Studi kelayakan tidak dicover dalam PMK dan PMK disusun sesuai SPI edisi VII tahun 2018. SPI sebagai principal based tidak mengatur technical based. Penilaian berdasarkan peraturan OJK Nomor POJK 35/2020, 17/2020, POJK 28/2021 dan 33/2021 di pasar modal mengarah ke technical based. Atas adanya perbedaan interpretasi principal based di SPI dan technical based di peraturan OJK maka Willy sering diminta menjembatani perbedaan tersebut agar terjadi keselarasan dalam praktek. FGD merupakan salah satu jembatan untuk menyelaraskan tafsir yang berbeda dengan dasar argumen yang jelas. FGD dilakukan beberapa kali untuk penyelerasan teknik penilaian. Selain itu mengacu juga kepada best practice guidelines sesuai tim KSPI, FPPM, sharing knowledge serta buku-buku karya J. Mard, Shannon dan Damodaran. Penilai pajak selalu mengikuti SPI yaitu principal based namun harus memperhatikan best pratice. Sebagai contoh penerapan penilaian pajak pada objek penilai bisnis dan properti ada kelemahan seperti DER sebagai objek penilaian untuk saham minoritas tidak ada di SPI. Kemudian DER bisa diatur melalui utang dilunasi atau ditambah sehingga harus hati-hati dalam menggunakan pendekatan DER.
“Bukti kepemilikan properti tidak memperhatikan kepemilikan tunggal maupun partial padahal nilai pasarnya berbeda jauh. Contoh lainnya mobil yang dibeli value nya bisa dari sudut pandang pembeli bukan dari penjual. Value added tidak boleh ditambahkan dari sudut pandang pembeli dan penjual,” ujar Willy D. Kusnanto.
Selanjutnya, Pemaparan III dari Ir. Benny Supriyanto, M.Sc Managing Partner KJPP Benedictus Darmapuspita dan Rekan menyampaikan siapa-siapa saja yang memerlukan pengetahuan teknik penilaian properti termasuk kantor pajak. Menurutnya, penilaian secara principal based namun juga harus secara technical based. Jadi seseorang penilai harus memperhatikan SPI, KEPI serta ketentuan perundangan yang berlaku. Seperti bukti kepemilikan di Indonesia yang kompleks banyak berbeda dgn Singapura yang sederhana hanya free hold dan lease hold. Selanjutnya di Indonesia tipe HGB ada 3 macam : tanah negara, tanah hak pengelolaan dan tanah hak milik. Jika PMK ini dilaksanakan seharusnya juga memperhatikan aspek hukum kepemilikan. Bukti kepemilikan tunggal bisa hak milik, HGB, hak pakai, hak guna usaha, hak pengelolaan, hak milik rusun di atas HGB, hak milik atas satuan rusun di atas hak milik. Dalam praktek penilaian DJP bukti kepemilikan tunggal tersebut bisa terabaikan dan tidak terdeteksi dengan baik. Hal ini bisa jadi membuat perbedaan dengan DJP. Ketentuan tata kota yang berubah-ubah seperti KDB, KLB, KDH, KTB juga bisa mempengaruhi nilai. Seperti contoh developer berani bayar denda tinggi sepanjang propertinya bernilainya tinggi.
Konsep penilaian properti berkaitan dengan konsep penguasaan yuridis (bukti kepemilikan) sangat berpengaruh terhadap nilai properti. Berkaitan dengan metode berdasarkan teori ada pendekatan pasar, pendapatan dan biaya sifatnya mutually exclusive. Mengacu ke SPI kita boleh memilih satu metode asal yakin dan hal ini sesuai dengan DJP. Kalau di OJK dapat mengacu kepada 2 metode. Pendekatan dibandingkan dengan PMK yang terbit, NJOP tidak ada di SPI padahal NJOP dengan nilai pasar berbeda. Ada peraturan jual beli asset negara memperhatikan NJOP sehingga cara menilainya berbeda. Penyandingan SPI dengan PMK menurut dia sudah cukup jelas berdasarkan tabel, tidak terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Namun dalam technical based persepsinya harus disamakan. Misal harga tanah dihitung oleh DJP per m2, padahal sebagai developer beli tanah satu plot berapa bukan per m2.
Terakhir, Pemaparan IV dari oleh Elviana Riyanto sebagai Partner PB Taxand. Menurutnya, PMK 79 belum memberikan contoh yang spesifik terutama untuk harta tidak berwujud. Penilaian dalam hubungan istimewa di Pasal 18 (3) dan 18 3a) UU PPH, Pasal 10 ayat (1) imbalan natura UU PPh. Secara praktek menurut Elviana PMK 79 sangat teknis dan dapat menimbulkan kebingungan di lapangan. Selanjutnya, Pasal 2 ayat 2 huruf d PP 34 tahun 2016 transaksi hubungan istimewa dengan penilai indepen apakah masih relevan? Contoh kasus yang dihadapi tahun 2017 terdapat transaksi hubungan istimewa yang sudah menggunakan KJPP menggunakan pendekatan pendapatan berbeda dengan KPP tahun 2021 dengan pendekatan pasar. Data yang digunakan DJP hanya data penawaran bukan transaksi yang terjadi dengan penyesuaian serta objek pembanding berbeda-beda datanya. “Message nya apakah DJP dapat mengkaji lebih dahulu penilaian independen yang dilakukan KJPP sebelum menilai ulang? Sinkronisasi penilaian DJP dengan MAPPI dlm SPI, OJK,” ujar Elviana Riyanto.
RTD ditutup dengan sesi tanya jawab yang intinya mempertanyakan penilaian dari KJPP seakan-akan dapat tidak dipertimbangkan oleh DJP yang dapat menimbulkan dispute. Bagaimana meminimalkan risiko dispute tersebut? Dari pihak DJP menekankan bahwa harus ada kesamaan persepsi atas sisi objek dan ketersediaan data untuk meminimalkan risiko dispute. MAPPI mengajak DJP untuk mengadakan FGD rutin bulanan guna saling bertukar informasi, sehingga dispute hasil kerja Penilai Independen berkurang guna memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak.
Tentang IAI
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) adalah organisasi profesi akuntan yang menaungi seluruh akuntan di Indonesia yang tersebar di 34 provinsi. IAI merupakan anggota dan pendiri International Federation of Accountants (IFAC) dan ASEAN Federation of Accountants (AFA), serta associate member of Chartered Accountants Worldwide (CAW).
Materi edukasi ini dapat diakses di SAK Online dan diunduh pada tautan berikut.
Untuk menjaga integritas dan profesionalisme akuntan Indonesia, IAI menerbitkan Kode Etik Akuntan Indonesia. Sebagai standard setter, IAI menyusun dan menetapkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), serta standar keberlanjutan yang berlaku di Indonesia.
Informasi lebih lanjut tentang IAI, kunjungi www.iaiglobal.or.id, atau email ke [email protected]
Apakah kamu tertarik untuk mempelajari lebih lanjut mengenai perpajakan? Yuk kunjungi informasi Brevet di website dan laman website IAI Jatim aja!
Informasi terkait Ikatan Akuntan Indonesia Wilayah Jawa Timur dapat diakses melalui iaijawatimur.or.id