Kerangka Kerja Inklusif OECD/G20 tentang Base Erosion and Profil Shifting (BEPS) mencapai kesepakatan mengenai aturan pajak minimum global yang tertera dalam Proposal Pilar Dua OECD pada bulan Oktober 2021. Pilar Dua ini memperkenalkan Tarif Pajak Efektif (ETR) minimum global, yaitu kelompok perusahaan multinasional dengan pendapatan konsolidasi di atas 750 juta Euro akan dikenakan ETR minimum sebesar 15 % atas pendapatan yang diperoleh di yurisdiksi pajak rendah.
OECD telah merekomendasikan agar peraturan Pilar Dua berlaku efektif pada tahun 2024, dengan pengecualian Peraturan Undertaxed Profits Rule (UTPR) yang direkomendasikan untuk berlaku efektif pada tahun 2025. Untuk menerapkan Pilar Dua, setiap negara akan memberlakukan peraturan tersebut di tingkat lokalnya yang diatur melalui peraturan perundang-undangan. Tema penting ini menjadi diskusi menarik dalam penyelenggaraan International Tax Conference (ITC) 2023 di Legian, Bali, yang mengambil tema Trends of the Future: International Tax, Transfer Pricing, and Digital Tax Transformation.
ITC 2023 dibuka oleh Ketua Dewan Pengurus Nasional (DPN) IAI, Ardan Adiperdana, dan dihadiri oleh pemangku kepentingan perpajakan dari dalam dan luar negeri. Hampir 300 peserta dengan berbagai latar belakang, mengikuti seminar perpajakan internasional yang diselenggarakan secara hybrid oleh Kompartemen Akuntan Perpajakan (KAPj) IAI, bekerja sama dengan Moody’s Analytics dan didukung oleh Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. ITC 2023 merupakan penyelenggaraan ke-10 kerja sama KAPj IAI dan Moody’s Analytics.
Dalam sambutan pembukanya, Ardan Adiperdana menyoroti pergeseran besar yang sedang terjadi dalam pajak internasional. Kemunculan big data, didorong oleh pertukaran otomatis informasi (AEoI) dan industri e-commerce yang berkembang pesat, membuat otoritas pajak harus menjalani transformasi digital di bidang perpajakan. Transformasi ini diharapkan menghasilkan solusi untuk meningkatkan pendapatan pajak, mengurangi biaya kepatuhan dan administrasi, mendorong transparansi, dan memungkinkan penekanan pada kegiatan bernilai tinggi.
Ardan menyoroti sifat dinamis transfer pricing, yang secara historis berlandaskan konsep nexus atau kehadiran yang dapat dikenai pajak. Pendekatan tradisional ini mengalami gelombang transformasi karena inisiatif Pilar Satu yang diinisiasi OECD, yang berfokus pada pembentukan sistem perpajakan internasional yang lebih adil. Pilar Satu mengalokasikan hak pajak ke yurisdiksi pasar, yang mengubah lanskap transfer pricing.
“Pengenalan perhitungan pajak minimum melalui Pilar Dua harus mematuhi prinsip arm's length. Penyesuaian penciptaan nilai dan pertimbangan Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (ESG) juga akan memengaruhi penentuan arm's length. Akuntan, sebagai pemain penting, memiliki peran instrumental dalam menavigasi lanskap pajak internasional yang terus berubah dan transformasi pajak digital,” pungkas Ardan.
Dalam keynote speech-nya, Wakil Menteri Keuangan RI Prof Suahazil Nazara, yang disampaikan oleh Staf Ahli Menteri Keuangan bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Iwan Djuniardi, menyatakan bahwa saat ini sedang terjadi pergeseran paradigma pada ekonomi global. Pertumbuhan ekonomi dewasa ini telah bergeser dari barat ke timur, terlihat dari naiknya pertumbuhan perusahaan berstatus Fortune 500 di negara-negara Asia Pasifik.
Aspek lain yang harus diantisipasi secara serius adalah pesatnya otomasi secara global yang mengubah model bisnis secara drastis. Pada 2045, diperkirakan lebih dari 50% industri global akan mengimplementasikan otomasi dalam proses bisnisnya. Otomasi ini diperkuat dengan meningkatnya transaksi digital yang menggantikan transaksi tunai. Namun di sisi lain, pertumbuhan ini sekaligus meningkatkan ancaman siber yang harus diantisipasi oleh para pelaku industri dan regulator di seluruh dunia.
Iwan Djuniardi menekankan bahwa berbagai kondisi di atas telah mendorong otoritas pajak di seluruh dunia menyesuaikan kebijakan serta memodernisasikan administrasi perpajakannya. Pemerintah Indonesia juga melakukan transformasi untuk menjadikan sistem perpajakan Indonesia agar lebih sederhana dan efisien. Implementasi core tax system berupa Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan yang dijalankan DJP, dinilai dapat menyederhanakan proses administrasi perpajakan sehingga lebih efisien bagi wajib pajak. Ini merupakan bagian dari reformasi perpajakan yang bertujuan meningkatkan rasa keadilan bagi wajib pajak, sehingga yang mendapatkan manfaat ekonomi lebih tinggi diharuskan memberikan kontribusi melalui pajak lebih banyak.
Pada kesempatan yang sama, Maqbool Lalljee dari Moody’s Analytics menekankan pentingnya reformasi perpajakan internasional untuk menciptakan keadilan bagi wajib pajak dan yurisdiksi. Menurutnya, peraturan perpajakan bagi perusahaan internasional telah diberlakukan sekitar satu abad yang lalu, berdasarkan undang-undang perpajakan domestik dan perjanjian internasional. Dewasa ini, perkembangan digital telah membuat model bisnis perusahaan besar dan perusahaan multinasional telah berubah, dan tidak ada lagi keharusan memiliki kehadiran fisik di wilayah tertentu.
Sejak awal tahun 1990-an, semakin mudah bagi perusahaan besar/perusahaan multinasional untuk mengalihkan keuntungannya ke yurisdiksi dengan pajak rendah atau tanpa pajak, terutama melalui peningkatan penggunaan dan eksploitasi aset tak berwujud. OECD memperkirakan kerugian akibat praktik perpajakan yang tidak adil itu berkisar antara 240 miliar hingga lebih dari 480 miliar dolar Amerika setiap tahun. “Proyek BEPS OECD/G20 yang dimulai pada tahun 2013 telah menghasilkan pengembangan peraturan baru berdasarkan Pilar Satu dan Pilar Dua untuk mereformasi dasar peraturan perpajakan perusahaan internasional dan memastikan bahwa perusahaan multinasional membayar pajak yang adil di mana pun mereka beroperasi,” ujar Maqbool.
Sementara itu, Ketua KAPj IAI, Prof. John Hutagaol, yang menutup acara menyampaikan kepada peserta dengan eksplorasi menyeluruh tentang Pillar Two dan OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS. Diskusi meluas ke tingkat pajak efektif minimum global (ETR) dan detail pelaksanaannya yang rumit, dengan fokus signifikan pada peraturan laba yang kurang dikenai pajak (Undertaxed Profits Rule, UTPR) yang akan berlaku pada tahun 2025.
Sebagai penutup, lanskap pajak internasional berubah dengan cepat, didorong oleh Pilar Dua, transformasi digital, dan adanya konsep transfer pricing yang terus dimutakhirkan. Apalagi saat ini Direktorat Jenderal Pajak saat ini sedang dalam proses meluncurkan PSIAP yang merupakan Reformasi Inti Sistem Administrasi Perpajakan. Sistem ini merupakan bagian dari Reformasi Perpajakan di bidang Informasi dan Teknologi.
Apakah kamu tertarik untuk mempelajari lebih lanjut mengenai perpajakan? Yuk kunjungi infromasi Brevet di website dan laman website IAI Jatim aja!
Informasi terkait Ikatan Akuntan Indonesia Wilayah Jawa Timur dapat diakses melalui iaijawatimur.or.id