Detail Interest Area

PERENCANAAN AKAR RUMPUT: Upaya Memperkuat Desa Melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa

Sumber : Ana Sopanah


PENDAHULUAN

     Membangun desa dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan adalah salah satu poin Nawa Cita Presiden Jokowi. Lahirnya Undang-Undang Desa No. 6 Tahun 2014 disambut sangat baik oleh seluruh kalangan baik aparat pemerintah pusat maupun daerah serta masyarakat. Desa yang sebelumnya tidak punya banyak dana, sekarang berlimpah dana. Pertanyaannya adalah mampukah desa mengelola dana tersebut secara efektif dan efisien? Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah untuk menyosialisasikan tentang Undang-Undang Desa. Pemerintah banyak bekerjasama dengan pihak Perguruan Tinggi, Profesi seperti Ikatan Akuntan Indoensia (IAI), maupun bekerjasama dengan kelompok untuk menyoosialisasikan tentang Undang-Undang Desa.

   Tahapan yang krusial untuk menjamin bahwa APBDesa berpihak pada aspirasi rakyat adalah perencanaan pembangunan desa yang diawali dari penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMDesa).  APBDesa adalah dokumen publik yang seharusnya dikelola secara partisipatif, transparansi dan akuntabel. Rakyat yang hakikatnya pemilik kekuasaan tertinggi harus diajak bicara bagaimana mengelola anggaran desa baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran. Jika hal ini dilakukan secara baik maka masyarakat desa akan semakin percaya dan yakin bahwa kepentingan publiklah yang menjadi prioritas pembangunan bukan kepentingan aparat.

    Perencanaan yang disusun di desa harus disesuaikan dengan potensi yang ada di desa. Baik potensi sumber daya manusianya maupun sumber daya alamnya. Semangat yang harus dikedepankan adalah “pembangunan dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat” dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat desa, termasuk didalamnya adalah mengurangi kemiskinan yang selalu menjadi isu hangat di pemerintahan. Visi dan keyakinan seorang kepala desa harus mengarah kepada penanggulangan kemiskinan dan mencapai kesejahteraan rakyat desa. Oleh karena itu perencanaan desa (APBDesa) menjadi instrumen penting bagi kesejahteraan rakyat desa, karena perencaan tersebut akan terimplementasi dalam APBDesa yang kemudian akan terprogram menjadi kegiatan-kegiatan yang strategis di desa tersebut.

     Perencanaan yang baik adalah perencanaan yang melibatkan partisipasi masyarakat (bottom up). Partisipasi masyarakat dalam perencanaan telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan di antaranya Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Permendagri No. 13/2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, UU No. 25/2004 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional dan Surat Edaran Bersama Bappenas dan Mendagri Nomor 1354/M.PPN/03/2004050/744/SJ tentang Pedoman Pelaksanaan Forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) dan Perencanaan Partisipatif Daerah.

     Implikasi dari berbagai peraturan tersebut di atas adalah masyarakat dapat terlibat tidak hanya dalam dalam proses perencanaan, tetapi juga dalam pelaksanaan maupun pertanggungjawaban pembangunan dengan dana APBD maupun APBDesa. Partisipasi masyarakat yang didorong oleh organisasi masyarakat sipil bertujuan membangun demokrasi yang diwujudkan dalam bentuk pengakuan civil society sebagai kekuatan penekan dan pengimbang dalam proses penyusunan APBD. Menurut Hikam (1998; 10) ada tiga ciri utama civil societyyaitu: pertama, adanya kemandirian yang cukup tinggi dari individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat, terutama ketika berhadapan dengan negara; kedua, adanya ruang publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melalui wacana dan praksis yang berkaitan dengan kepentingan publik; ketiga, adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar negara tidak melakukan intervensi.

     Selain itu, partisipasi masyarakat merupakan bentuk keterlibatan aktif dan kreatif yang diiringi oleh potensi keahlian, kemampuan, pengetahuan dan kesediaan berkorban untuk turut serta memecahkan masalah mereka sendiri (Anthony, 1984). Partisipasi masyarakat sangat penting bagi suatu pemerintahan sebagai upaya untuk meningkatkan arus informasi, akuntabilitas, serta memberikan perlindungan kepada masyarakat yang berkesinambungan (Sisk, 2002; 33). Secara politis partisipasi masyarakat dalam penganggaran dapat memperkuat proses demokratisasi karena dengan partisipasi masyarakat berarti: 1). memberi kesempatan yang nyata kepada mereka untuk mempengaruhi pembuatan keputusan, 2). memperluas peluang pendidikan politik bagi masyarakat, 3). memperkuat solidaritas komunitas masyarakat lokal (Islami, 2001; 5; Callahan, 2002; 299, dan Ebdon 2002; 275).

     Penelitian tentang partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan publik telah dilakukan oleh penulis yang dimulai pada tahun 2003. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2003, 2004, 2005 menunjukkan hasil bahwa partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan kebijakan penganggaran sangat penting karena dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Hasil lain juga menunjukkan bahwa meskipun partisipasi sangat penting dalam realitasnya partisipasi masyarakat masih rendah. Penelitian lanjutan yang dilakukan pada tahun 2008 dan 2009 menemukan adanya perubahan partisipasi masyarakat, yang semula rendah menjadi tinggi karena adanya dorongan dari pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat. Tingginya partisipasi masyarakat juga di sampaikan oleh peserta diklat keuangan desa setelah adanya Undang-Undang Desa. Sebelum adanya Undang-Undang desa keterlibatan masyarakat tidak terlalu tinggi di bandingkan sekarang setelah dana di desa banyak.

     Meskipun dari berbagai penelitian terdahulu menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat sudah cukup tinggi, tetap diperlukan upaya untuk memperbaiki kualitas partisipasi masyarakat, memperkuat pelembagaan partisipasi, melakukan transparansi dan inovasi kebijakan yang terus menerus. Rumusan masalah dalam tulisan ini adalah “Bagaimana Proses Penyusunan Perencanaan Desa Khususnya RPJM Desa”. Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan perencanaan pembangunan desa yang merupakan dokumen penting sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan demokratisasi dan keberhasilan pembangunan. Praktik pelaksanaan pemerintah desa merupakan cerminan dari membuminya demokrasi dalam pemerintahan. Jika diibaratkan dalam komoditi, maka pemerintah desa adalah etalase dari komoditi tersebut. Semoga dengan adanya Undang-Undang Desa membawa berkah tersendiri bagi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat desa.

LANDASAN TEORI

  1. Asal Usul Desa dan Undang-Undang Desa

         Desa atau yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Sebagai bukti keberadaannya, Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan bahwa “Dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, Kampung di Kutai Barat dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.

         Keberagaman karakteristik dan jenis desa, atau yang disebut dengan nama lain, tidak menjadi penghalang bagi para pendiri bangsa (founding fathers) ini untuk menjatuhkan pilihannya pada bentuk negara kesatuan. Meskipun disadari bahwa dalam suatu negara kesatuan perlu terdapat homogenitas, tetapi Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap memberikan pengakuan dan jaminan terhadap keberadaan kesatuan masyarakat hukum dan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya desa atau yang disebut nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang un­tuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat se­tem­pat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan negara kesatuan Republik Indonesia.

         Dalam UU tersebut juga ditegaskan desa adalah kesa­tuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus uru­san pe­merintahan, kepen­tingan ma­syarakat setempat berda­sar­kan prakarsa masyarakat, hak-asal usul dan atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pe­me­rintahan negara kesatuan Republik Indonesia. Lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, pembentukan desa ha­nya berdasarkan indikator jumlah penduduk dibedakan menurut pulau dan langsung menjadi desa definitif. Dalam UU Desa yang baru, indikator jumlah penduduk tidak lagi hanya menurut pulau, namun lebih terperinci seperti syarat jumlah penduduk lebih besar dibandingkan sebelumnya. Jika sebelumnya cukup de­ngan jumlah penduduk 2.500 orang, dengan UU Desa wajib 4.500 orang dan dalam un­dang- undang tersebut ada­nya desa persiapan selama 1-3 tahun.

         Selain itu juga terdapat ketentuan umum terkait desa adat, yaitu sebagai kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional. Dimaksudkan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.Tentunya terdapat ketentuan khusus yang mendefinisikan keberadaan desa.

         Dalam kaitan susunan dan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengaturan Desa atau disebut dengan nama lain dari segi pemerintahannya mengacu pada ketentuan Pasal 18 ayat (7) yang menegaskan bahwa “susunan dan tata cara penyelenggaraan Pemerintahan Daerah diatur dalam undang -undang”. Hal itu berarti bahwa Pasal 18 Ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 membuka kemungkinan adanya susunan pemerintahan dalam sistem pemerintahan Indonesia.  

         Melalui perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dipertegas melalui ketentuan dalam Pasal 18B Ayat (2) yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.  

         Dalam sejarah pengaturan desa, telah ditetapkan beberapa pengaturan tentang desa, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang  Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang Nomor 5   Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.   

         Dalam pelaksanaannya, pengaturan mengenai Desa tersebut belum dapat mewadahi segala kepentingan dan kebutuhan masyarakat Desa yang hingga saat ini sudah berjumlah sekitar 73.000 (tujuh puluh tiga ribu) desa dan sekitar 8.000 (delapan ribu) kelurahan. Selain itu, pelaksanaan pengaturan desa yang selama ini berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, terutama antara lain menyangkut kedudukan masyarakat hukum adat, demokratisasi, keberagaman, partisipasi masyarakat, serta kemajuan dan pemerataan pembangunan sehingga menimbulkan kesenjangan antarwilayah, kemiskinan, dan masalah sosial budaya yang dapat mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

         Undang-Undang ini disusun dengan semangat penerapan amanat konstitusi, yaitu pengaturan masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan Pasal 18B Ayat (2) untuk diatur dalam susunan pemerintahan sesuai dengan ketentuan Pasal 18 Ayat (7). Walaupun demikian, kewenangan kesatuan masyarakat hukum adat mengenai pengaturan hak ulayat merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan sektoral yang berkaitan.  

         Dengan konstruksi menggabungkan fungsi self-governing community dengan local self government, diharapkan kesatuan masyarakat hukum adat yang selama ini merupakan bagian dari wilayah desa, ditata sedemikian rupa menjadi Desa dan Desa Adat. Desa dan Desa Adat pada dasarnya melakukan tugas yang hampir sama. Sedangkan perbedaannya hanyalah dalam pelaksanaan hak asal-usul, terutama menyangkut pelestarian sosial Desa Adat, pengaturan dan pengurusan wilayah adat, sidang perdamaian adat, pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban bagi masyarakat hukum adat, serta pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli. 

          Desa Adat memiliki fungsi pemerintahan, keuangan Desa, pembangunan Desa, serta mendapat fasilitasi dan pembinaan dari pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam posisi seperti ini, Desa dan Desa Adat mendapat perlakuan yang sama dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Oleh sebab itu, di masa depan Desa dan Desa Adat dapat melakukan perubahan wajah Desa dan tata kelola penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, pelaksanaan pembangunan yang berdaya guna, serta pembinaan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat di wilayahnya. Dalam status yang sama seperti itu, Desa dan Desa Adat diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang ini. Menteri yang menangani Desa saat ini adalah Menteri Dalam Negeri. Dalam kedududukan ini Menteri Dalam Negeri menetapkan pengaturan umum, petunjuk teknis, dan fasilitasi  mengenai penyelenggaraan pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.

  2. Desa dalam Bingkai Perencanaan Pembangunan
    Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional telah menetapkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan negara Indonesia. Desa yang memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kukuh dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Dengan demikian, tujuan ditetapkannya pengaturan Desa dalam Undang-Undang ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (7) dan Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu:

    1. Memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;

    2. Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;

    3. Melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;

    4. Mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;

    5. Membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;

    6. Meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum;

    7. Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;

    8. Memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan

    9. Memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.

  3. Pengertian RPJMDes

         RPJM Desa adalah dokumen perencanaan untuk periode 6 (enam) tahun dan merupakan penjabaran dari visi dan misi Desa yang memuat arah kebijakan pembangunan desa, arah kebijakan keuangan desa, kebijakan umum, program dan empat kegiatan pembangunan Desa. Penyusunan RPJM Desa wajib mengikutsertakan unsur masyarakat Desa. Dalam penyusunan RPJM Desa juga harus mempertimbangkan kondisi objektif Desa dan Prioritas Program dan Kegiatan kabupaten/kota.

         Rancangan RPJM Desa harus memuat visi dan misi Kepala Desa, Arah Kebijakan Pembangunan Desa, serta Rencana Kegiatan yang meliputi Bidang Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Pelaksanaan Pembangunan Desa, Pembinaan Kemasyarakatan Desa, dan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Semakin utuh sebuah dokumen RPJM Desa, semakin mudah diukur keberasilan sebuah desa dimasa depan. Karena dengan adanya dokumen RPJM Desa akan memudahkan Pemerintah Desa bersama Masyarakat Desa dalam memanfaatkan peluang dan kekuatan yang ada di Desa. Berikut adalah tabel yang menunjukkan perbedaan antara RPJMD sebelum adanya UU Desa dan Setelah adanya UU Desa.
NO
RPJM Desa sebelum  UU/6/2014
RPJM Desa  sesudah UU/6/2014
1.
Mengacu pada UU/32/2004 tentang Pemda
Mengacu UU/6/2014 tentang  Desa
2.
Mengacu pada PP 72/2005 tentang  Desa
Mengacu pada PP 43/2014  dan PP 47/2015 Peraturan Pelaksanaan UU No.6/2014 ttg Desa
3.
Mengacu pada Permendagri 66 /2007 Perencanaa Pemb. Desa.
Mengacu pada Permendagri 114/2014 dan Permendesa 21/2015
4.
Proses penyusunan melalui musrenbangdes
Proses penyusunan melalui Musdes dan Musrenbangdes
5.
Jangka waktu 5 th
Jangka Waktu 6 th
6.
Tidak terbagi dalam bidang & kegiatan
Terbagi dalam bidang dan kegiatan. meliputi bidang:
Penyelenggaraan Pemdes
Pembangunan Desa
Pembinaan Kemasyarakatan
Pemberdayaan Masyarakat
Tak terduga
7.
RKP ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa
RKP Ditetapkan dengan Peraturan Desa


HASIL DAN PEMBAHASAN

  1. RPJMDes Dalam Bingkai Perencanaan
         Sebagaimana yang telah di jelaskan di bab sebelumnya bahwa RPJM Desa merupakan dokumen perencanaan pembangunan yang  membuat Visi dan Misi Kepala Desa selama periode kepemimpinannya. Sementara itu, dalam UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2) juga disebutkan bahwa Pemerintah Desa menyusun perencanaan Pembangunan Desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan kabupaten/kota. Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun secara berjangka meliputi: a. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 6 (enam) tahun; dan b. Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau yang disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa, merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. Artinya adalah bahwa perencanaan yang telah disusun oleh desa harus sinergi dengan perencanaan yang telah disusun oleh Pemerintah Kabupaten. Hal ini juga di sampaikan oleh beberapa peserta diklat MKD, sebagaimana kutipan berikut.

    “ Dengan adanya UU Desa kami di tuntut untuk terus belajar dan berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten dalam menyusun perencanaan baik jangka menengah (RPJM desa, maupun jangka pendek (RKP Desa)...(B, 27/11/2016) 

    “ Meskipun sudah ada Dana Desa, tetap saja belum mampu memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat, oleh karena itu kami menyusun daftar prioritas yang diselaraskan dengan prioritas pemerintah...(S, 30/08/16)

    “ Desa kami ketika menyusun perencanaan selalu koordinasi dengan pihak pemerintah kabupaten yang menangani desa,...” (K, 8/11/2016)

         Berdasarkan hasil kutipan peserta diklat MKD menunjukkan bahwa dengan semakin besarnya dana yang mengucur ke desa pemerintah desa berupaya semaksimal mungkin untuk menyusun perencanaan desa yang baik yang sinergi dengan Pemerintah Kabupaten. Artinya, pemerintah desa yang telah diberi kewenangan dalam menyusun perencanaan di desanya tidak serta merta menyusun perencanaan sendiri, melainkan selalu melibatkan pihak-pihak terkait utamanya adalah pemerintah daerah. Perencanaan desa merupakan dokumen urgen untuk menyusun prioritas program mana yang harus segera di implementasikan dan tepat sasaran untuk peningkatan pembangunan.

Peserta Sedang Menjelaskan Kesesuaian Dokumen Perencanaan

  1. Proses Penyusunan RPJMDesa

    RPJM Desa di susun oleh tim penyusun RPJM Desa yang telah di bentuk oleh Kepala Desa dengan Sekertaris Desa sebagai ketua tim penyusun. Berikut Tim Penyusun RPJM Desa:

    a. Kepala Desa selaku pembina;
    b. Sekretaris Desa selaku ketua;
    c. Ketua lembaga pemberdayaan masyarakat selaku sekretaris; dan
    d. Anggota yang berasal dari perangkat Desa, lembaga pemberdayaan  masyarakat,  kader pemberdayaan masyarakat Desa, dan unsur masyarakat lainnya.

    Beberapa ketentuan yang harus di penuhi dalam menyusun RPJM Desa adalah:

    a. Jumlah tim paling sedikit 7 (tujuh) orang dan paling banyak 11 (sebelas) orang.
    b. Tim penyusun  harus mengikutsertakan perempuan.
    c. Tim penyusun ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa.
    d. Tim penyusun RPJM Desa melaksanakan kegiatan sebagai berikut:
          1. Penyelarasan arah kebijakan pembangunan kabupaten/kota;
          2. Pengkajian keadaan Desa;
          3. Penyusunan rancangan RPJM Desa; dan
          4. Penyempurnaan rancangan RPJM Desa.

    Dalam proses penyusunannya Tim Penyusun akan bekerja bersama-sama mulai dari tahap persiapan, musyawarah dusun, musyawarah perencanaan pembangunan dan sosialisasi hasil dari dokumen RPJM Desa tersebut. Berikut adalah tahapan dalam proses penyusunan RPJM Desa.

    1. Tim penyusun RPJM desa menyusun Rancangan RPJM Desa
    2. Rancangan RPJM Desa ditungkan dalam  format
    3. Tim membuat berita acara hasil penyusunan dilampiri dokumen Rancangan RPJM Desa disampaikan kades
    4. Kades memeriksa rancangan RPJM Desa
    5. Tim memperbaiki rancangan RPJM Desa
    6. Dalam Hal kades setuju diadakan Musrenbangdesa

Hasil diskusi dengan peserta Diklat MKD yang diikuti oleh Sekdes Se-Jawa Timur menjelaskan bahwa selama ini masyarakat ikut berpartisipasi dalam musyawarah dusun untuk mengusulkan berbagai program pembangunan. Oleh karena itu di harapkan RPMDesa semakin berkualitas yang mencerminkan sejauh mana kredibilitas Kepala Desa terpilih untuk memandu, mengarahkan, dan memprogramkan perjalanan kepemimpinannya dan pembangunan desanya dalam masa 6 (enam) tahun ke depan. Kemudian Kepala Desa akan mempertanggungjawabkan hasilnya kepada masyarakat pada akhir masa kepemimpinannya. Oleh karena itu, kedudukan RPJM Desa sangat penting untuk mengklarifikasikan secara eksplisit visi dan misi desa yang selanjutnya menerjemahkan secara strategis, sistematis, dan terpadu ke dalam tujuan, strategi, kebijakan, program prioritas dan indikator kinerja yang akan dicapai. Berikut beberapa hasil kutipan hasil diskusi di kelas MKD.

“ Di Desa kami, ketika musyawarah dusun banyak sekali yang hadir, mereka berbondong-bondong menyusulkan program kerja yang dibutuhkan di wilayahnya...(J, 27/11/2016) 

“ Ibu-Ibu PKK juga aktif di Desa kami untuk mengusulkan berbagai program pembangunan yang berkaitan dengan perempuan...(H, 30/08/16)

“ Di Desa kami Kepala Desa nya turun temurun dari satu keluarga, mulai dari Bapak, Anak, Menantu, dll...yang penting program kerjanya bagus, kami tidak ada masalah,  ,...” (M, 8/11/2016)

 Dari kutipan hasil diskusi tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat desa terlibat dalam proses penyusunan RPJM Desa dan aturan yang mengatur prosesnya dipenuhi.  Termasuk didalam nya adalah 4 bidang yang harus dipenuhi yaitu seperti yang dijelaskan dalam gambar berikut:

  1. Berbagai Pendekatan Dalam Penyusunan RPJMDes
         Strategis Dokumen RPJM Desa merupakan suatu kerangka kerja pembangunan yang komprehensif dan sistematis dalam mencapai harapan yang dicita-citakan. RPJM Desa merupakan hasil dari pemikiran strategis dalam menggali gagasan dan isu-isu penting yang berpengaruh terhadap pencapaian visi dan misi pemerintahan desa dan masyarakat. Kebijakan strategis yang dituangkan dalam RPJM Desa menentukan arah perubahan dan orientasi pembangunan yang perlu dilakukan untuk mencapai harapan dan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, kualitas dokumen RPJM Desa sangat ditentukan seberapa jauh dokumen perencanaan dapat mengungkapkan secara sistematis proses pemikiran strategis tersebut.
         Ada beberapa pendekatan dalam proses penyusunan RPJM Desa yaitu demokratis dan partisipatif, politis, bottom-up dan top down process. Hal ini dimaksudkan agar perencanaan desa mampu memenuhi kaidah penyusunan perencanaan yang sistematis, terpadu, transparan dan akuntabel, konsisten dengan rencana lain yang relevan, dan kepemilikan rencana. Secara umum, Undang-Undang No. 25/2004 telah memberikan panduan dalam penyusunan rencana pembangunan sebagai kerangka acuan bagi pemerintah desa dalam penyusunan RPJM Desa yang memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut:

    1. Demokratis dan Partisipatif 
         RPJM Desa merupakan dokumen milik bersama sebagai acuan kebijakan desa yang disusun secara partisipatif melibatkan pemangku kepentingan. Prinsip musyawarah dan partisipasi menjadi landasan dalam proses penyusunan RPJM Desa yang dilaksanakan secara transparan, akuntabel, dan melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan perencanaan di semua tahapan perencanaan, mencakup:
    1. identifikasi pemangku kepentingan yang perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dalam perencanaan desa;

    2. kesetaraan antara pemerintah desa dan pemangku kepentingan lain dalam pengambilan keputusan;
    3. transparasi dan akuntabilitas dalam proses perencanaan desa;
    4. keterwakilan dari seluruh komponen masyarakat, terutama kelompok
    5. perempuan dan kelompok rentan;
    6. kepemilikan (sense of ownership) masyarakat terhadap RPJM Desa
    7. pelibatan media dalam sosialisasi RPJM Desa; dan
    8. konsensus atau kesepakatan pada semua tahapan penting pengambilan keputusan, seperti: perumusan isu pembangunan desa dan permasalahan, perumusan tujuan, strategi dan kebijakan, dan prioritas program.

    2. Politis

         Dokumen RPJM Desa merupakan hasil kesepakatan berbagai unsur dan kekuatan politik dalam kerangka mekanisme kenegaraan yang diatur melalui undang-undang. Dengan kata lain, RPJM Desa sebagai sebuah produk politik yang dalam penyusunannya melibatkan proses konsultasi dengan kekuatan politis terutama Kepala Desa dan BPD:

    1. Dilakukan konsultasi dengan kepala desa untuk penerjemahan yang tepat dan sistematis atas visi, misi, dan program kepala desa ke dalam tujuan, strategi, kebijakan, dan program pembangunan desa;
    2. Melibatkan BPD dalam proses penyusunan RPJM Desa;
    3. Beberapa pokok pikiran BPD menjadi acuan dalam proses penyusunan RPJM Desa;
    4. Review, saran dan masukan dari berbagai pihak yang berkepentingan
    5. Berkaitan terhadap rancangan RPJM Desa;
    6. Dilakukan pembahasan terhadap Rancangan Peraturan Desa (Perdes) RPJM Desa; dan pengesahan RPJM Desa sebagai Peraturan Desa yang mengikat semua pihak untuk melaksanakannya dalam lima tahun ke depan.

    3. Bottom-up Planning

    Perencanan dari bawah yang dimaksud bahwa proses penyusunan RPJM Desa harus memperhatikan dan mengakomodasikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat:

    1. Penjaringan aspirasi dan kebutuhan masyarakat untuk melihat
    2. Konsistensi dengan visi, misi dan program kepala desa terpilih;
    3. Memperhatikan hasil proses musrenbang dan kesepakatan dengan masyarakat tentang prioritas pembangunan desa; dan
    4. Memperhatikan hasil dari proses penyusunan usulan kegiatan desa

    4. Top-down Planning

    Perencanan dari atas yang dimaksud bahwa proses penyusunan RPJM Desa perlu bersinergi dengan rencana strategis di atasnya dan komitmen pemerintahan atasan berkaitan:

    1. RPJM Desa sinergi dengan RPJM Kabupaten/Kota; dan
    2. RPJM Desa sinergi dan komitmen pemerintah terhadap tujuan pembangunan global seperti Millenium Development Goals(MDGs), Sustainable Development, pemenuhan Hak Asasi Manusia, pemenuhan air bersih, sanitasi, dan infrastruktur dasar.

    Berbagai pendekatan yang telah dijelaskan diatas, berdasarkan hasil diskusi dengan peserta MKD menunjukkan bahwa faktor politik cenderung lebih dominan dibandingkan dengan faktor lainnya. Faktor politik yang dominan adalah hubungan antara Kepala Desa dengan BPD yang kurang harmonis. Hal ini menyebabkan terlambatnya RPJM Desa untuk disyahkan. Hal ini sebagaimana terungkap dalam diskusi kelas seperti kutipan berikut:

    “ BPD di Desa kami, susah diajak koordinasi, terkadang kami bingung harus bagaimana, ...(B, 27/11/2016) 

    APBDes yang sudah dirancang desa tidak mau ditandatangani oleh BPD. Lalu bagaimana?... “(AR, 8/11/2016)

    Oleh karena itu harus dipahami bahwa persoalan perencanaan pembangunan adalah persoalan bersama yang menyangkut pola kepemimpinan, budaya pemerintahan, manajemen sumber daya dan alokasi sumber pendanaan yang terbatas. Oleh karena itu, pemahaman konteks dan analisis situasi dan kondisi daerah sangat penting dalam penyusunan RPJM Desa, ketimbang persoalan politik, meskipun hal ini tidak dapat dihindari. Semua pihak diharapkan menyadari bahwa bahwa RPJM Desa tidak saja dipahami sebagai produk politis, teknokratis dan aspiratif saja, lebih dari itu sebagai alat perubahan dan pengendali pemerintahan desa, sehingga masyarakat mampu menjawab tantangan yang dihadapi

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dijelaskan di bab sebelumnya dapat di simpulkan bahwa RPJM Desa merupakan dokumen perencanaan pembangunan yang  membuat Visi dan Misi Kepala Desa selama periode kepemimpinannya. RPJM Desa harus sinergi dengan perencanaan yang telah disusun oleh Pemerintah Kabupaten. RPJM Desa di susun oleh tim penyusun RPJM Desa yang telah di bentuk oleh Kepala Desa dengan Sekertaris Desa sebagai ketua tim penyusun dengan memperhatikan berbagai ketentuan dalam proses penyusunannya.

Dalam proses penyusunannya Tim Penyusun akan bekerja bersama-sama mulai dari tahap persiapan, musyawarah dusun, musyawarah perencanaan pembangunan dan sosialisasi hasil dari dokumen RPJM Desa tersebut. Hasil diskusi dengan peserta Diklat MKD yang diikuti oleh Sekdes Se-Jawa Timur menjelaskan bahwa selama ini masyarakat ikut berpartisipasi dalam musyawarah dusun untuk mengusulkan berbagai program pembangunan.

Ada beberapa pendekatan dalam proses penyusunan RPJM Desa yaitu demokratis dan partisipatif, politis, bottom-up dan top down process. Hal ini dimaksudkan agar perencanaan desa mampu memenuhi kaidah penyusunan perencanaan yang sistematis, terpadu, transparan dan akuntabel, konsisten dengan rencana lain yang relevan, dan kepemilikan rencana. Berbagai pendekatan yang telah dijelaskan diatas, berdasarkan hasil diskusi dengan peserta MKD menunjukkan bahwa faktor politik cenderung lebih dominan di bandingkan dengan faktor lainnya. Faktor politik yang dominan adalah hubungan antara Kepala Desa dengan BPD yang kurang harmonis.

Saran dalam tulisan ini adalah persoalan perencanaan pembangunan adalah persoalan bersama yang menyangkut pola kepemimpinan, budaya pemerintahan, manajemen sumber daya dan alokasi sumber pendanaan yang terbatas. Oleh karena itu, pemahaman konteks dan analisis situasi dan kondisi daerah sangat penting dalam penyusunan RPJM Desa, ketimbang persoalan politik, meskipun hal ini tidak dapat dihindari. Semua pihak diharapkan menyadari bahwa bahwa RPJM Desa tidak saja dipahami sebagai produk politis, teknokratis dan aspiratif saja, lebih dari itu sebagai alat perubahan dan pengendali pemerintahan desa, sehingga masyarakat mampu menjawab tantangan yang dihadapi

DAFTAR PUSTAKA

 Anthony, W. P. 1984. Partisipatif Management. Menlo ParkCalif: addison-wesley Publishing Company

Callahan, Kathe. 2002. The Utilization and Effectiveness of Citizen Advisory Committees in The Budget Process of Local Government. Journal of Public Budgeting, Accounting and Financial Management. 14 (2) 295-319

Ebdon, Carol. 2002. Beyond the Public Hearing: Citizen Participation in the Local Government Budgeting Process. Journal of Public Budgeting, Accounting and Financial Management, 14 (2) 273-294.

Hikam, Muhammad AS. 1998. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES

Hopwood, G. Anthony. 1989. Behavioral Accounting In Retrospect  And Prospect, Behavioral Research In Accounting Volume 1, Printed in USA.

Islamy, Muhammad Irfan. 2001. Upaya menumbuhkan Partisipasi Masyarakat dalam pemerintahan dan Pembangunan di daerah. makalah yang dipresentasikan pada seminar penumbuhan partisipasi masyarakat, di DPRD Pasuruan

Sisk, T.D. (Editor) (2002). Democracy at the Local Level: International IDEA Handbook Regarding Engagement, Representation, Conflict Management and Governance, Seri 4, Internasional IDEA, Jakarta, Indonesia.

Sopanah, 2003. Pengaruh Partisipasi Masyarakat dan Transparansi Kebijakan Publik Terhadap Hubungan antara Pengetahuan Dewan tentang Anggaran dengan Pengawasan Keuangan Daerah, dalam Proceding Simposium Nasional akuntansi VI, Membangun Citra Akuntan melalui Peningkatan Kualitas Pengetahuan, Pendidikan dan Etika Bisnis, Surabaya, 16-17 Oktober 2003

_______, Wahyudi, Isa dan Azmi, Happy. 2004. Strategi penguatan masyarakat dalam pengawasan proses penyusunan dan pelaksanaan APBD Kota Malang, Laporan penelitian tidak dipublikasikan MCW dan YAPPIKA.

_______, dan Wahyudi, Isa. 2005a. Strategi Penguatan Masyarakat sipil dalam meminimalisasi Distorsi Penyusunan APBD Kota Malang, dalam  Procesing Simposium Riset II ISEI, Percepatan Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Pengangguran, Surabaya 23-24 November 2005

_______ dan Wahyudi, Isa. 2005b. Strategi Penguatan Partisipasi Rakyat terhadap Pengawasan dalam Proses Penyusunan dan Pelaksanaan APBD Kota Malang, dalam  Procesing Simposium Riset II ISEI, Percepatan Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Pengangguran, Surabaya 23-24 November 2005

_______. 2008. Model Pengembangan Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Penyusunan APBD di Kota Malang, Junal Akuntansi dan Keuangan, Volume 7 Edisi April, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

_______. 2009. Studi Fenomenologis: Menguak Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Penyusunan APBD di Kota Malang, Proceding Simposium Nasional Akuntansi (SNA) 12 Tanggal 4-6 November 2009 di Palembang

Peraturan Perundang-undangan :

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah

Republik Indonesia, Surat Edaran Bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan Menteri Dalam Negeri No.1354/M.PPN/03/2004050/744/SJ tentang Pedoman Pelaksanaan Forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) dan Perencanaan Partisipatif Daerah.

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah

Republik Indonesia, Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

 Republik Indonesia, Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.