Detail Interest Area

Pemberdayaan dan Tantangan Desa : Implementasi Undang Undang No. 6 TAHUN 2014 tentang Desa

Sumber : Setia Budi Kurniawan


Abstraksi : 

Undang Undang desa merupakan bagian dari upaya peningkatan optimalisasi sumberdaya manusia dan alam wilayah Indonesia. Optimalisasi peran masyarakat desa dan tantangannya merupakan bagian dari proses menuju kemadirian diri manusia Indonesia seutuhnya. Kemandirian ditunjukan dengan munculnya kesadaran kritis terhadap nilai kehidupan, Kepedulian dan Tantangan atas risiko yang ada. Kesadaran kritis menjadi unsur penting masyarakat desa atas pemberlakuan UU No. 6 tahun 2014. Kesadaran kritis timbul karena berdayanya olah rasa, olah pikir dan olah daya masyarakat desa terhadap potensi diri dan risiko tantangan politik yang dihadapi di perdesaan.               

Kata kunci : UU no. 6 tahun 2014, kesadaran kritis, pemberdayaan, tantangan risiko.


Pendahuluan

Indonesia Hebat inilah kata utama yang bisa menjadi Tag Line dari muncul dan berlakunya UU no. 6 tahun 2014 tentang Desa. Kehebatan Indonesia muncul dari adanya integrasi geografis yang menyatu dengan jalinan harmonisasi pengakuan kewilayahan yang tercantum dalam substansi berlakunya UU DESA. Kebhinekaan asset desa mendapat pengakuan karena Roh keanekaragaman budaya akan semakin berkembang pesat dan menjadi bagian pelestarian kekayaan dunia. Aset Kekayaan Indonesia semakin berkembang dengan skala pembangunan yang terintegrasi dengan munculnya keunikan dan kearifan local pembangunan kewilayahan di desa seluruh Indonesia. Kurang Lebih 78.000 desa akan berkembang dengan pembangunan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia yang semakin berdaya dan mandiri. Harapan optimis ini merupakan tantangan bagi cita-cita masyarakat adil dan makmur .

Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 setidaknya ingin menjawab dua problem utama desa selama ini yaitu mengembalikan otonomi asli desa sebagaimana pernah dikesampingkan era orde baru, serta pada saat yang sama mengembangkan otonomi desa untuk membatasi invasi otonomi daerah pasca reformasi. Pengakuan atas desa kali ini dengan jelas menjawab persoalan pertama, yaitu menegaskan kembali keragaman desa sebagaimana lebih awal telah dikoreksi oleh UU 32/2004. Desa dan atau nama lain berhak mengatur dan mengurus urusannya masing-masing berdasarkan hak asal usul yang diakui dan dihormati oleh negara berdasarkan amanah konstitusi pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Persoalan kedua, tampak bahwa desa diharapkan mampu mengembangkan otonomi aslinya untuk membatasi ekspansi otonomi daerah yang mengancam hingga ke pori-pori desa.  

UU Desa membawa harapan dan peluang besar. Cita-cita pemerataan pembangunan sebagai capaian mimpi dari kemerdekaan bisa terwujud. Ragam tantangan yang disinggung sebelumnya bisa dikonversi menjadi peluang. UU ini merupakan peluang bagi daerah untuk menjadikan desa sebagai pusat pertumbuhan dan kreativitas sosial ekonomi masyarakat di desa. Desa benar-benar menjadi subjek, tak lagi sekedar objek. Karena selama ini, desa hanya selalu menjadi obyek pembangunan dan eksploitasi dari sistem pembangunan nasional. Padahal, segenap sumber daya agraria dan termasuk sumber daya manusia di pedesaan. Desa menjadi sumber pangan nasional tetapi tidak mendapatkan prioritas dalam kebijakan pembangunan nasional. UU ini secara progresif berupaya menurunkan semangat desentralisasi sampai ke tingkat desa, tak hanya di daerah. Dengan bahasa lain, UU Desa merupakan langkah maju dalam pembangunan pedesaan dan sebuah capaian riil dari desentralisasi di level grass root.

Kemudian UU ini bisa memajukan adat istiadat dan budaya masyarakat desa, membangun sistem pemerintahan lebih efektif dalam kerangka pelayanan masyarakat, memajukan perekonomian msyarakat desa serta memupus kesenjangan pembangunan nasional. Untuk mengoptimalkan peluang tersebut, maka strategi yang perlu diperjuangkan adalah mendidik rakyat desa, supaya memiliki kemampuan untuk mengorganisasikan dirinya (self help) dan memobilisasi semua sumber daya yang ada di desa. Pengembangan masyarakat yang menjadi upaya terorganisir yang dilakukan guna meningkatkan kondisi masyarakat, terutama melalui usaha kooperatif dan mengembangkan kemandirian perdesaan. Penguatan kapasitas masyarakat desa dengan cara mendorong mereka untuk terlibat langsung dalam mengontrol dan mengawasi pemerintah desa, menjadi kata kunci untuk mencapai masyarakat desa yang makmur, adil dan demokratis. Tanpa itu, masyarakat desa tetap terbelit dalam persoalan jeratan kemiskinan.

 

Pembangunan Perdesaan

Tanggal 18 Desember 2013 lalu menjadi awal sejarah bagi keberlanjutan perkembangan desentralisasi di Indonesia, yaitu disahkannya RUU Desa menjadi UU Desa. Desentralisasi perlu diartikulasikan sebagai suatu yang dinamis yang terus menyempurnakan diri sejalan perkembangan ruang dan waktu. UU baru ini akhirnya menempatkan desa memiliki otonominya sendiri. Jika melihat fenomena pembangunan masyarakat desa pada masa lalu, terutama di era orde baru, pembangunan desa merupakan cara dan pendekatan pembangunan yang diprogramkan negara secara sentralistik. Dimana pembangunan desa dilakukan oleh pemerintah baik dengan kemampuan sendiri (dalam negeri) maupun dengan dukungan negara-negara maju dan organisasi-organisasi internasional. Pembangunan desa pada era orde baru dikenal dengan sebutan Pembangunan Masyarakat Desa (PMD), dan Pembangunan Desa (Bangdes). Kemudian di era reformasi peristilahan terkait pembangunan desa lebih menonjol “Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD)”.

Dibalik semua itu, persoalan peristilahan tidaklah penting, yang terpenting adalah substansinya terkait pembangunan desa. Pada masa orde baru secara substansial pembangunan desa cenderung dilakukan secara seragam (penyeragaman) oleh pemerintah pusat. Program pembangunan desa lebih bersifat top-down. Pada era reformasi secara substansial pembangunan desa lebih cenderung diserahkan kepada desa itu sendiri. Sedangkan pemerintah dan pemerintah daerah cenderung mengambil posisi dan peran sebagai fasilitator, memberi bantuan dana, pembinaan dan pengawasan. Program pembangunan desa lebih bersifat bottom-up atau kombinasi buttom-up dan top-down.

Top-down Planning. 

Perencanaan pembangunan yang lebih merupakan inisiatif pemerintah (pusat atau daerah). Pelaksanaannya dapat dilakukan oleh pemerintah atau dapat melibatkan masyarakat desa di dalamnya. Namun demikian, orientasi pembangunan tersebut tetap untuk masyarakat desa.

Bottom-up Planning. 

Perencanaan pembangunan dengan menggali potensi riil keinginan atau kebutuhan masyarakat desa. Dimana masyarakat desa diberi kesempatan dan keleluasan untuk membuat perencanaan pembangunan atau merencanakan sendiri apa yang mereka butuhkan. Masyarakat desa dianggap lebih tahu apa yang mereka butuhkan. Pemerintah memfasilitasi dan mendorong agar masyarakat desa dapat memberikan partisipasi aktifnya dalam pembangunandesa.

Kombinasi Bottom-up danTop-dowm Planning. 

Pemerintah (pusat atau daerah) bersama-sama dengan masyarakat desa membuat perencanaan pembangunan desa. Ini dilakukan karena masyarakat masih memiliki berbagai keterbatasan dalam menyusun suatu perencanaan dan melaksanakan pembangunan yang baik dan komprehensif. Pelaksanaan pembangunan dengan melibatkan dan menuntut peran serta aktif masyarakat desa dan pemerintah. Dalam menyusun perencanaan pembangunan desa yang harus diperhatikan adalah harus bertolak dari kondisi existing desa tersebut.

Esensi dari pembangunan desa adalah “bagaimana desa dapat membangun/memanfaatkan/mengeksploitasi dengan tepat (optimal, efektif dan efisien) segala potensi dan sumber daya yang dimiliki desauntuk memberikan rasa aman, nyaman, tertib serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Pembangunan desa berkaitan erat dengan permasalahan sosial, ekonomi, politik, ketertiban, pertahanan dan keamanan dalam negeri. Dimana masyarakat dinilai masih perlu diberdayakan dalam berbagai aspek kehidupan dan pembangunan. Oleh karena itu, perlu perhatian dan bantuan negara (dalam hal ini pemerintah) dan masyarakat umumnya untuk menstimulans percepatan pembangunan desa di berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Bantuan masyarakat dapat berasal dari masyarakat dalam negeri maupun masyarakat internasional. Meskipun demikian, bantuan internasional melalui organisasi-organisasi internasional bukanlah yang utama, tetapi lebih bersifat bantuan pelengkap.Semua bentuk bantuan, baik yang bersumber dari pemerintah, swasta (dalam bentuk Corporate Social Responsibility, hibah dan sebagainya), maupun organisasi-organisasi non-pemerintah (Lembaga Sosial Masyarakat) dalam negeri maupun internasional adalah merupakan stimulus pembangunan di daerah pedesaan. Semestinya yang dikedepankan adalah kemampuan swadaya masyarakat desa itu sendiri.

Pembangunan desa pada hakikatnya adalah segala bentuk aktivitas manusia (masyarakat dan pemerintah) di desa dalam membangun diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan di wilayah desa baik yang bersifat fisik, ekonomi, sosial, budaya,politik, ketertiban, pertahanan dan keamanan, agama dan pemerintahan yang dilakukan secara terencanadan membawa dampak positif terhadap kemajuan desa.

Dengan demikian, pembangunan desa sesungguhnya merupakan upaya-upaya sadar dari masyarakat dan pemerintah baik dengan menggunakan sumberdaya yang bersumber dari desa, bantuan pemerintah maupun bantuan organisasi-organisasi/lembagadomestik maupun internasional untuk menciptakan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik. Perubahan-perubahan yang dilakukan manusia pada awalnya didorong oleh keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Semakin maju suatu peradaban dan semakin kompleksnya kebutuhan hidup manusia akan mendorong umat manusia menggunakan kecerdasannya untuk melakukan upaya-upaya tertentu guna pemenuhan kebutuhannya. Upaya-upaya tersebut ditujukan untuk mencapai sesuatu yang lebih baik dalam pemenuhan kebutuhan.

Berbicara tentang pembangunan desa terdapat dua aspek penting yang menjadi objek pembangunan. Secara umum, pembangunan desa meliputi dua aspek utama, yaitu :

(1) Pembangunan desa dalam aspek fisik, yaitu pembangunan yang objek utamanya dalam aspek fisik (sarana,prasaranadan manusia) di pedesaan seperti jalan desa, bangunan rumah, pemukiman,jembatan, bendungan, irigasi, sarana ibadah, pendidikan (hardware berupa sarana dan prasarana pendidikan, dan software berupa segala bentuk pengaturan, kurikulum dan metode pembelajaran), keolahragaan, dan sebagainya. Pembangunan dalam aspek fisik ini selanjutnya disebut Pembangunan Desa.

(2) Pembangunan dalam aspek pemberdayaan insani, yaitu pembangunan yang objek utamanya aspek pengembangan dan peningkatan kemampuan, skill dan memberdayakan masyarakat didaerah pedesaan sebagai warga negara, seperti pendidikandan pelatihan, pembinaan usaha ekonomi, kesehatan, spiritual, dan sebagainya. Tujuan utamanya adalah untuk membantu masyarakat yang masih tergolong marjinal agar dapat melepaskan diri dari berbagai belenggu keterbelakangan sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Pembangunan dalam aspek pemberdayaan insani ini selanjutnya disebut sebagai Pemberdayaan Masyarakat Desa.

Pemberdayaan Masyarakat Desa Implementasi UU Desa

Pemberdayaan masyarakat Desa, secara lugas dapat diartikan sebagai suatu proses yang membangun manusia atau masyarakat desa melalui pengembangan kemampuan masyarakat, perubahan perilaku masyarakat, dan pengorganisasian masyarakat. UU Desa secara substansi mengakui konsep pemberdayaan ini. UU Desa mendorong agar desa berdaulat, mandiri dan demokratis. Desa berdaulat merupakan pengejawantahan asas rekognisi dan juga pasal 5 dalam UU Desa yang menegaskan bahwa desa tidak lagi sub ordinat kabupaten. Rekognisi merupakan bentuk keberdayaan dan kemandirian. Desa memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

Keberdayaan dan kemandirian desa ini juga ditopang oleh pasal 18-22 UU Desa yang menegaskan bahwa desa memiliki kewenangan lokal berskala desa dan yang tidak kalah penting adalah masyarakat desa secara berdaya menyusun dokumen rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDes) menjadi satu-satunya dokumen perencanaan desa dan adanya hak keuangan dimana negara mengalokasikan sebagian APBN kepada desa dan sebagaian dana perimbangan yang diterima kabupaten sebagai alokasi dana desa untuk dikelola secara mandiri dari keberdayaan yang dimiliki. Mendasarkan UU Desa ada 3 hal yang dapat dicermati dari sisi pemberdayaan yaitu :

  • mengembangkan kemampuan masyarakat desa,
  • Kemampuan masyarakat desa yang dapat dikembangkan tentunya banyak sekali seperti kemampuan untuk berusaha, kemampuan untuk mencari informasi, kemampuan untuk mengelola kegiatan, kemampuan dalam pertanian dan masih banyak lagi sesuai dengan kebutuhan atau permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat desa.
  • mengubah perilaku masyarakat desa,
  • Perilaku masyarakat desa yang perlu diubah tentunya perilaku yang merugikan masyarakat atau yang menghambat peningkatan kesejahteraan masyarakat desa.
  • mengorganisir diri masyarakat.

Pengorganisasian masyarakat dapat dijelaskan sebagai suatu upaya masyarakat untuk saling mengatur dalam mengelola kegiatan atau program yang mereka kembangkan. Disini masyarakat desa dapat membentuk panitia kerja, melakukan pembagian tugas, saling mengawasi, merencanakan kegiatan, dan lain-lain.

UU No 6/2014 tentang Desa merupakan regulasi yang penting dalam upaya memajukan desa. UU Desa juga merupakan peluang bagi desa untuk menata ulang desa, memajukan dan memenuhi hak warga desa serta menjamin tata kelola pemerintahan yang berdaulat, mandiri dan demokratis. Tetapi tidak hanya sebagai peluang, UU Desa juga memiliki sejumlah tantangan misalnya soal kesiapan aparatur pemerintahan desa, lembaga-lembaga desa lainnya, serta warga masyarakat masing-masing desa untuk menjadi subyek pembangunan, kesiapan pemerintah kabupaten dan kecamatan dalam menyiapkan seperangkat aturan guna mendukung pelaksanaan UU Desa, mendampingi dan memfasilitasi desa serta mendorong keterlibatan kelompok marjinal dan kelompok rentan dalam tata kelola pemerintahan desa.

Implementasi UU Desa pada hakekatnya adalah tuntutan agar masyarakat desa mau secara berdaya mengembangkan potensi yang dimilikinya. Potensi ini adalah proses belajar dan pembelajaran sehingga secara pendidikan dan pemahaman sosial masyarakat desa menjadi lebih berisi substansi bermasyakat dan hidup mencapai kemakmuran bersama. Pemberdayaan masyarakat desa dilaksanakan melalui:

1. Pengembangan masyarakat

Apa yang dikembangkan dari masyarakat yaitu potensi atau kemampuannya dan sikap hidupnya. Kemampuan masyarakat dapat meliputi antara lain kemampuan untuk bertani, berternak, melakukan wirausaha, atau ketrampilan-ketrampilan membuat home industri; dan masih banyak lagi kemampuan dan ketrampilan masyarakat yang dapat dikembangkan. Dalam rangka mengembangkan kemampuan dan ketrampilan masyarakat, dapat dilakukan dengan berbagai cara. Contoh dengan mengadakan pelatihan atau mengikutkan masyarakat pada pelatihan-pelatihan pengembangan kemampuan dan ketrampilan yang dibutuhkan. Dapat juga dengan mengajak masyarakat mengunjungi kegiatan ditempat lain dengan maksud supaya masyarakat dapat melihat sekaligus belajar, kegiatan ini sering disebut dengan istilah studi banding. Dapat juga dengan menyediakan buku-buku bacaan yang sekiranya sesuai dengan kebutuhan atau peminatan masyarakat. Masih banyak bentuk lainnya yang bias diupayakan. Sikap hidup yang perlu diubah tentunya sikap hidup yang merugikan atau menghambat peningkatan kesejahteraan hidup. Merubah sikap bukan pekerjaan mudah. Mengapa karena masyarakat sudah bertahun-tahun bahkan puluhan tahun sudah melakukan hal itu. Untuk itu memerlukan waktu yang cukup lama untuk melakukan perubahan sikap. Caranya adalah dengan memberikan penyadaran bahwa apa yang mereka lakukan selama ini merugikan mereka. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan banyak informasi dengan menggunakan berbagai media, seperti buku-buku bacaan, mengajak untuk melihat tempat lain, menyetel film penerangan, dan masih banya cara lain. Bagaimana kaitannya dengan UU Desa, keinginan untuk meningkatkan potensi diri akan bisa dilakukan ketika masyarakat desa secara pro aktif ketika diikutkan dalam setiap penyusunan program desa yang bottom up, tingkat partisipasi masyarakat desa didukung oleh adanya kemampuan potensi memahami aspek anggaran dan juga potensi desa yang ada. RPJM Desa merupakan salah satu bentuk pemberdayaan diri masyarakat desa karena paham dengan kebutuhan hidupnya.

2. Pengorganisasian masyarakat

Pada pengorganisasian masyarakat desa , kuncinya adalah menempatkan masyarakat sebagai pelakunya. Untuk itu masyarakat perlu diajak mulai dari perencanaan kegiatan, pelaksanaan, sampai pemeliharaan dan pelestarian. Pelibatan masyarakat sejak awal kegiatan memungkinkan masyarakat memiliki kesempatan belajar lebih banyak. Pelibatan masyarakat desa secara utuh melalui pengakuan kelembagaan desa menyebabkan desa memiliki akar berdaya yang kuat. Rasa memiliki menjadi sangat besar ketika masyarakat desa memiliki kedaulatan dalam melaksanakan semua kebutuhan yang bisa dilakukan.

UU Desa memiliki prinsip dasar pemberdayaan untuk mewujudkan masyarakat Desa yang berdaya atau mandiri karena ada pembuatan dan memiliki RPJM Desa yang berdaulat dan didukung keuangan Negara PP 60 tahun 2014 tentang Dana Desa memiliki konsep  :

a. Penyadaran

Untuk dapat maju atau melakukan sesuatu, orang harus dibangunkan dari tidurnya. Demikian masyarakat juga harus dibangunkan dari “tidur” keterbelakangannya, dari kehidupannya sehari-hari yang tidak memikirkan masa depannya. Orang yang pikirannya tertidur merasa tidak mempunyai masalah, karena mereka tidak memiliki aspirasi dan tujuan-tujuan yang harus diperjuangkan. Penyadaran berarti bahwa masyarakat secara keseluruhan menjadi sadar bahwa mereka mempunyai tujuan-tujuan dan masalah-masalah. Masyarakat yang sadar juga mulai menemukan peluang-peluang dan memanfaatkannya, menemukan sumberdaya-sumberdaya yang ada ditempat itu yang barangkali sampai saat ini tak pernah dipikirkan orang. Masyarakat yang sadar menjadi semakin tajam dalam mengetahui apa yang sedang terjadi baik di dalam maupun diluar masyarakatnya. Masyarakat menjadi mampu merumuskan kebutuhan-kebutuhan dan aspirasinya.

b. Pelatihan

    Pendidikan di sini bukan hanya belajar membaca,menulis dan berhitung, tetapi juga meningkatkan ketrampilan-ketrampilan bertani, kerumahtanggaan, industri dan cara menggunakan pupuk. Juga belajar dari sumber-sumber yang dapat diperoleh untuk mengetahui bagaimana memakai jasa bank, bagaimana membuka rekening dan memperoleh pinjaman. Belajar tidak hanya dapat dilakukan melalui sekolah, tapi juga melalui pertemuan-pertemuan informal dan diskusi-diskusi kelompok tempat mereka membicarakan masalah-masalah mereka.

    Melalui pendidikan, kesadaran masyarakat akan terus berkembang. Perlu ditekankan bahwa setiap orang dalam masyarakat harus mendapatkan pendidikan, termasuk orangtua dan kaum wanita. Ide besar yang terkandung dibalik pendidikan kaum miskin adalah bahwa pengetahuan menganggarkan kekuatan.

c. Pengorganisasian

    Agar menjadi kuat dan dapat menentukan nasibnya sendiri, suatu masyarakat tidak cukup hanya disadarkan dan dilatih ketrampilan, tapi juga harus diorganisir.
Organisasi berarti bahwa segala hal dikerjakan dengan cara yang teratur, ada pembagian tugas diantara individu-individu yang akan bertanggungjawab terhadap pelaksanaan tugas masing-masing dan ada kepemimpinan yang tidak hanya terdiri dari beberapa gelintir orang tapi kepemimpinan diberbagai tingkatan.

    Tugas-tugas harus dibagikan pada berbagai kelompok, termasuk kaum muda, kaum wanita, dan orangtua. Pembukuan yang sehat juga sangat penting. Semua orang harus mengetahui penggunaan uang dan berapa sisanya. Pembukuan harus dikontrol secara rutin misalnya setiap bulan untuk menghindari adanya penyelewengan.

d. Pengembangan kekuatan

    Kekuasaan berarti kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Bila dalam suatu masyarakat tidak ada penyadaran, latihan atau organisasi, orang-orangnya akan merasa tak berdaya dan tak berkekuatan. Mereka berkata “kami tidak bisa, kami tidak punya kekuatan”.

e. Membangun Dinamika

    Dinamika masyarakat berarti bahwa masyarakat itu sendiri yang memutuskan dan melaksanakan program-programnya sesuai dengan rencana yang sudah digariskan dan diputuskan sendiri. Dalam konteks ini keputusan-keputusan sedapat mungkin harus diambil di dalam masyarakat sendiri, bukan diluar masyarakat tersebut.

    Lebih jauh lagi, keputusan-keputusan harus diambil dari dalam masyarakat sendiri. Semakin berkurangnya kontrol dari masyarakat terhadap keputusan-keputusan itu, semakin besarlah bahaya bahwa orang-orang tidak mengetahui keputusan-keputusan tersebut atau bahkan keputusan-keputusan itu keliru. Hal prinsip bahwa keputusan harus diambil sedekat mungkin dengan tempat pelaksanaan atau sasaran.

Tantangan Masyarakat Desa dari Implementasi UU Desa 

SDM aparatur desa sebagai pengembang pemerintah desa perlu ditingkatkan kapasitasnya, pelatihan pelatihan teknis yang mendukung dalam perencanaan, penggunaan dan pelaporan anggaran. Titik “paling kritis” tentang UU Desa 2014 tersebut bukan terletak pada substansi materi undang-undangnya, tetapi justru pada gejala-gejala negatif yang tidak mampu diduga dengan diberikannya dana sebesar 1 Milyar kepada desa, sebagai implikasi dari pasal-pasal di dalam undang-undang tersebut. Kewenangan desa dan wewenang kepala desa yang sedemikian luas memberi keleluasaan bagi desa dan kepala desa untuk mengembangkan otonomi aslinya melalui sumber daya yang tersedia. Sumber daya tersebut berupa keuangan desa yang dapat diperoleh lewat APBN, APBD, PAD dan sumber lain yang sah. Jika diasumsikan pemerintah menggelontorkan setiap desa sebanyak 850 juta, plus ADD sebesar 10% ditambah Pendapatan Asli Desa dan sumbangan lain yang sah, maka setiap desa kira-kira akan mengelola dana diatas 1 Milyar perdesa pada kurang lebih 77.000 desa di Indonesia. Kondisi ini memungkinkan terbukanya peluang korupsi di desa. Tata kelola keuangan desa sangat perlu untuk diperhatikan dengan seksama. Tidak akan dipungkiri jika ada kemungkinan banyak Perangkat desa yang terpeleset dalam kasus hukum. Peluang negatif  lain yang diprediksi muncul adalah 1) akibat besarnya anggaran desa maka besar kemungkinan semua kelurahan akan meminta dirubah menjadi desa. Desa-desa besar akan memekarkan diri menjadi beberapa desa. Besarnya anggaran desa nantinya akan melebihi besarnya anggaran kecamatan, hal ini berpeluang terjadinya penyelewengan mengingat belum jelasnya institusi pengontrol tingkat desa. 2) aspek politisasi desa, kepala desa kharismatik akan tergerus dan bermunculan kepala desa administratif yang endingnya mengkonstruk desa menjadi politis dan anti demokrasi; 3) politisasi desa akan memakan biaya besar sehingga kucuran APBN dan APBD dapat digerogoti sedemikian rupa untuk pembiayaan politik. ( http://syariah.unisnu.ac.id/diskusi-publik-uu-nomor-6-tahun-2014-tentang-desa-antara-peluang-kesejahteraan-dan-korupsi).

Di sini akan muncul berbagai persoalan seperti halnya pemilihan kepala daerah misalnya masalah money politic akan muncul dalam bentuk transaksi suara. Berkaca pada desentralisasi di lingkup daerah beberapa permasalahan dalam praktik desentralisasi di tingkat lokal adalah:

  1. Bahwa otonomi atau desentralisasi dimaknakan sebagai lingkup “uang”
  2. Demikian juga munculnya arogansi daerah
  3. Munculnya ekslusivisme daerah, sehingga sering terjadi tekanan-tekanan disintegrasi.

Seperti halnya harapan ketika disahkan UU Otonomi Daerah No. 32 tahun 2004 yang lalu. Semua pejabat dan aparat lokal bergembira dan seolah UU tersebut bak oase di padang pasir. Demikian pun para pejabat desa, ketika UU tentang desa disahkan maka pada saat yang sama mereka bergembira dan mengalami kegembiraan yang sungguh luar biasa. Kegembiraan tersebut tidak menutup kemungkinan mewujud dalam bentuk kegembiraan individu dari figur-figur di desa. Jangan sampai mengulang sejarah transisi sistem pemerintahan Indonesia dari sentralisasi menuju desentralisasi yang melahirkan raja-raja kecil di daerah. Begitupula UU Desa ini semoga bukan menjadi proses migrasi korupsi dari daerah ke desa. Kalau ini yang terjadi maka dapat dipastikan akan banyak penyalahgunaan anggaran dan wewenang, apalagi kemampuan manajerial desa yang masih rendah.. Oleh karena itu UU Desa harus menjadi perhatian bersama para pengambil kebijakan baik pada tingkat pusat maupun daerah.

Pasca UU Desa ini disahkan, pemerintah desa sebagai birokrasi perlu mentrasformasi diri menjadi, 1) birokrasi pemerintahan umum, yaitu rangkaian organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum termasuk memelihara ketertiban dan keamanan, 2) birokrasi pembangunan yang memiliki fungsi pokoknya yaitu fungsi pembangunan (development function) atau fungsi adaptasi (adaptive function); karena hal yang melatarbelakangi terbitnya UU ini adalah masih adanya ketimpangan pembangunan di desa dan 3) birokrasi pelayanan, yaitu unit organisasi pemerintahan yang pada hakikatnya merupakan bagian atau berhubungan dengan masyarakat. Fungsi utamanya adalah pelayanan (service) langsung kepada masyarakat. Pelayanan di sini bisa dimaknai sebagai mengakomodasi langsung aspirasi masyarakat desa (Abdullah:1991)

Lebih lanjut, untuk menjawab berbagai tantangan yang muncul dari UU Desa ini, maka sebagai awalan perlu sosialisasi UU Desa dan pendidikan politik secara massif dan holistik di seluruh desa dengan pendekatan dan metodologi yang tepat. Pendidikan politik ini diselenggarakan dalam kepentingan intervensi sosial dalam membangun kesadaran kritis masyarakat, sehingga ke depan partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala desa adalah partisipasi yang kritis. Karena partisipasi merupakan indikator penting untuk mengukur perilaku keberhasilan masyarakat desa dan kepentingan dalam pemilihan kepala desa.

Simpulan

Kesadaran Kritis dan Pengawasan menjadi sangat penting dengan diberlakukannya UU Desa. Upaya pemberdayaan sebagai bagian membangun kesadaran kritis sangat penting dan perlu  diakomodasi dalam regulasi pembuatan RPJM Desa termasuk untuk mencegah tindakan wanprestasi pelaksana UU Desa menghindari tuntutan hukum dikemudian hari. Transparasi dan akuntabilitas menjadi kunci penting dalam pelaksanaan UU no. 6 tahun 2014 tentang Desa.

DAFTAR  PUSTAKA :

Abdullah, Syukur. 1991. “Budaya Birokrasi di Indonesia”. Dalam Alfian dan Nazaruddin Sjamsudin (ed.). Profil Budaya Politik Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Harry.2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press.

Utomo, Warsito. 2009. Administrasi Publik Baru Indonesia, Perubahan Paradigma dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Yogyakarta. Pustaka Pelajar

PP 60 tahun 2014. Dana Desa Yang bersumber dari APBN

PP 43 tahun 2014. Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa

UU no. 6 Tahun 2014. Tentang Desa

UU No. 32 tahun 2004. Otonomi Daerah

http://syariah.unisnu.ac.id/diskusi-publik-uu-nomor-6-tahun-2014-tentang-desa-antara-peluang-kesejahteraan-dan-korupsi/

http://alimuhi.staff.ipdn.ac.id/fenomena pembangunan desa/