Detail Interest Area

Dampak Perpajakan Penerapan PSAK 72


Oleh : Wan Juli

Pengurus IAI Wilayah Jawa Timur Bidang Akuntan Pajak, Pendiri One Tax Consult dan pengajar perpajakan di Universitas Surabaya dan Universitas Airlangga

Baru-baru ini Dewan Standar Akuntansi Keuangan Indonesia mengeluarkan PSAK 72 tentang Akuntansi Pendapatan dari Kontrak dengan Pelanggan. PSAK 72 menonjolkan sifat principle based-nya dengan menyebutkan bahwa pendapatan diakui ketika si penjual telah memenuhi janji atau kewajiban untuk melakukan sesuatu (yang diistilahkan dengan kewajiban pelaksanaan atau performance obligation). Pembahasan mengenai kinerja atau janji yang dibuat oleh si penjual ini harus merujuk pada kontrak antara pihak penjual atau pemberi jasa dengan pembeli atau penerima jasa. Pada saat pengakuan pendapatan tersebut, pelanggan memeroleh pengendalian (control) atas asset dalam bentuk barang dan/atau jasa. Pengendalian secara akuntansi dimaknai sebagai kemampuan untuk menentukan penggunaan asset dan untuk memeroleh manfaat substansial dari asset tersebut dalam bentuk dan kondisi yang ada. Pelanggan akan dapat mengambil keputusan mengenai bagaimana, kapan, di mana, dan untuk tujuan apa asset tersebut digunakan.

PSAK 72 mengatur mengenai lima tahapan rerangka penerapan pengakuan pendapatan sebagai berikut: [1] 

  Tahap 1: Mengidentifikasi kontrak dengan pelanggan

 Tahap 2: Mengidentifikasi kewajiban untuk mengalihkan barang atau jasa

Tahap 3: Menetukan harga transaksi

Tahap 4: Mengalokasikan harga transaksi

Tahap 5: Mengakui Pendapatan ketika masing-masoing kewajiban pelaksanaan sudah terpenuhi

Implikasi Perpajakan dalam PSAK 72

  • Saat Pengakuan Pendapatan (Beralihnya Pengendalian dalam PSAK 72) versus Penyerahan dalam konteks UU PPN

           Implikasi perpajakan dalam PSAK 72 ini dapat ditinjau dari dua aspek yaitu PPh dan PPN. Sebenarnya secara teknis pengakuan pendapatan berkaitan dengan saat pengakuan pendapatan dan jumlah pengakuan pendapatan yang berkaitan dengan basis penilaian. Secara umum karena UU PPh Indonesia tidak mengatur secara rinci mengenai pengakuan pendapatan (saat pengakuan pendapatan), maka berdasarkan kuasa Pasal 28 UUKUP, prinsip akuntansi yang berlaku, sehingga dalam hal ini keberadaan PSAK 72 seharusnya tidak memiliki dampak yang signifikan dalam hal perlakuan PPh terkait saat pengakuan pendapatan. Namun demikian, PSAK 72 ini sudah dapat dipastikan membawa permasalahan yang pelik dalam hal PPN karena UU PPN bergantung pada konsep penyerahan, sedangkan PSAK 72 seperti yang telah dibahas sebelumnya menekankan pada peristiwa beralihnya penguasaan barang atau jasa dari penjual kepada pembeli. Walaupun dalam banyak hal saat penyerahan itu sama dengan saat beralihnya pengendalian atau penguasaan barang atau jasa, namun dalam praktik bisa saja saat penyerahan ini tidak sama dengan peristiwa beralihnya penguasaan barang atau jasa. 

Kriteria yang diberikan dalam PP 1 tahun 2012 yang mengakomodasi konsep pengakuan pendapatan menurut akuntansi dapat mengakibatkan ketidak-konsistenan antara PPh dan PPN. Alasan sederhana dari pendapat ini adalah bahwa konsep UU PPh adalah substantive sementara UU PPN lebih mengarah pada konsep yuridis. Kemungkinan sengketa ini bisa saja terjadi dalam hal penjualan yang telah terjadi namun pengiriman barangnya belum dilakukan (bill and hold sales) sehingga penyerahan akuntansi bisa saja telah terjadi namun penyerahan fisik belum dilaksanakan. Dalam hal ini, memang PPN berdasarkan PP 1 tahun 2012 dan PPh diakui pada saat bersamaan karena PP 1 tahun 2012 juga mengakui saat pengakuan penghasilan secara akuntansi sebagai saat terutangnya pajak (PPN), namun penyerahan fisik yang terjadi setelah pengakuan akuntansi ini jadi tidak terpantau (dalam arti tidak diperhitungkan).                            

  • Perbedaan Penilaian Pendapatan

          Secara umum, UU PPh tidak mengatur secara jelas mengenai saat pengakuan pendapatan sehingga berdasarkan kuasa Pasal 28 ayat 7 UUKUP standar akuntansi yang berlaku. Namun demikian, dalam aspek kedua yaitu penilaian dalam pengakuan pendapatan merupakan sumber perdebatan yang serius karena UU PPh dibangun dengan konsep harga perolehan sesuai pasal 10 UU PPh sedangkan konsep harga perolehan ini sudah banyak ditinggalkan oleh PSAK 72 ini. 

          Sehubungan dengan hal ini, yang perlu dicermati dalam PSAK 72 yang dapat menimbulkan implikasi pajak adalah konsep penilaian yang terkandung dalam Tahap ketiga Penentuan Harga Transaksi. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam penilaian pendapatan yaitu mengenai variable consideration yaitu dalam hal adanya variabilitas harga transaksi karena jumlah yang akan dibayarkan kepada penjual bergantung pada kejadian di masa yang akan datang dan time value of money yaitu dalam hal adanya perbedaan saat pengiriman dan pembayaran yang berbeda lebih dari satu tahun sehingga mengimplikasikan nilai waktu uang yang signifikan. Variable consideration mengakibatkan perlunya estimasian atas nilai transaksi yang diharapkan. Efek dari aspek variable consideration ini terletak pada DPP PPh dan PPN karena secara akuntansi nilai yang diakui adalah nilai harapan (expectancy value), sedangkan peraturan perpajakan tidak mengenai penilaian berdasarkan estimasi harapan.

           Aspek time value of money juga menimbulkan dampak serius terkait karakterisasi pendapatan. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, apabila pembayaran terjadi secara signifikan terlebih dahulu daripada penyerahan barang/jasa, maka dapat dipandang si pembeli memberikan pinjaman kepada si penjual sehingga si penjual akan mengakui beban bunga sedangkan si pembeli akan mengakui pendapatan bunga. Sebaliknya, apabila penyerahan terjadi secara signifikan terlebih dahulu daripada pembayaran, maka dapat dipandang si penjual memberikan pinjaman kepada si pembeli sehingga si penjual akan mengakui pendapatan bunga sedangkan si pembeli akan mengakui beban bunga. Peraturan perpajakan tidak mengenal penilaian berbasiskan nilai waktu uang (time value of money) sehingga adanya pengakuan biaya bunga ataupun pendapatan bunga dalam kasus ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai aspek nilai DPP PPh serta ada atau tidaknya PPh pemotongan/pemungutan Pasal 23/26. Pengertian bunga dalam UU PPh selalu dikaitkan dengan keberadaan perikatan dasar yaitu pinjam meminjam uang (adanya utang yang dicatat dalam Neraca) sedangkan bunga yang dicatat dalam PSAK 72 itu tidak ditimbulkan dari adanya transaksi pinjam meminjam. Misalnya dalam kasus prepayment atau pembayaran mendahului penyerahan, penjual akan mengakui beban bunga secara akuntansi. Apakah pengakuan beban bunga berdasarkan basis time value of money ini merupakan bunga dalam konteks perpajakan sehingga menjadi objek PPh 23/26 namun tidak menjadi objek PPN atau bunga ini merupakan bagian dari harga jual sehingga terutang PPN, namun tidak terutang PPh 23/26.

          Permasalahan serupa juga terjadi dalam hal pembayaran akhir (receivable) atau penyerahan terjadi terlebih dahulu daripada pembayaran, dalam hal ini penjual akan mengakui adanya pendapatan bunga. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan pertanyaan mengenai apakah pendapatan bunga itu secara fiskal diakui sebagai pendapatan bunga ataukah malahan diakui sebagai penghasilan (penjualan) yang membentuk DPP PPN.  

Simpulan

           Sejauh ini, jelas sekali bahwa PSAK 72 yang baru diterbitkan IAI ini dapat menimbulkan berbagai masalah dan pertanyaan dan aspek pajaknya mengenai saat pengakuan atau saat terutangnya pajak hingga nilai DPP PPN maupun PPh. Akar permasalahan ini adalah karena UU PPh Indonesia didasarkan pada PAI tahun 1973 yang masih menganut prinsip harga perolehan sedangkan PSAK Indonesia sudah meninggalkan prinsip ini. Dampak dari perbedaan ini secara nyata terletak pada kewajiban rekonsiliasi DPP PPN atau PPh dengan pendapatan yang diakui secara akuntansi. Dalam hal ini, praktik perpajakan sangat mengharapkan adanya rekonsiliasi antara ketentuan perpajakan dan PSAK untuk paling tidak menciptakan kepastian hukum dan perlakuan perpajakan bagi Wajib Pajak.   




   

 

[1] Diadaptasikan dari Spiceland, J. David, Mark. W. Nelson, Wayne B. Thomas, Pearl Tan, Bernardine Low, dan Kin Yew Low. 2019, Intermediate Accounting-Global Edition 2, McGraw Hill Education: Singapore.